Indonesia, (sudut pandang Abi).
Hujan yang dingin tetapi entah mengapa terasa membakar semua harap. Kejadian lima tahun lalu yang perlahan mengusik hatiku seakan mengisyaratkan bahwa rindu sudah seharusnya usai. Nay, perempuan yang sampai saat ini masih menjadi kekasihku tak kunjung pulang ke ibu pertiwi. Kegusaranku semakin menjadi karena keadaan Indonesia saat ini. Krisis moneter yang berkepanjangan seakan mencekik leherku sehingga membuatku sangat sulit untuk bernafas. Keresahan yang setiap harinya aku rasakan kini membuatku ragu akan masa depanku. Apa yang sesungguhnya aku kejar selama ini? Apa yang sebenarnya aku harapkan dari situasi konyol seperti ini? Entahlah, yang jelas ada hal yang membuatku sedikit lega karena setidaknya kekasihku berada di negara yang keadaannya lebih baik. Tetapi aku disini merasa sangat tidak bisa berkutik dan menaruh masa depanku dibarisan paling belakang diantara semua mimpi khayalku.
Rasa putus asa kerap menyelimuti hati dan pikiranku, membakar habis seluruh sistem perjuangan yang ada di dalam badanku, mengubur rata semua mimpi yang sudah lama ku ukir sejak aku duduk di bangku perguruan tinggi kala itu. Berharap aku dapat merealisasikan semua impianku. Tetapi sepertinya dunia sedang tidak membiarkanku melewati semua ini dengan mudah. Atau mungkin diriku ini yang belum bisa hidup berdampingan dengan kerasnya kehidupan.
Dengan ijazah sarjanaku saat ini aku hanya mampu bekerja di warung kecil milik Ibuku. Warung yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, warung yang menjadi pondasi perekonomian keluargaku dan warung yang menyekolahkanku hingga aku mendapat gelar sarjanaku. Dan sekarang aku menghidupi Ibu dan adik ku yang masih harus kusekolahkan sampai menjadi sarjana sepertiku. Ayahku sudah tiada, Ibuku adalah seseorang yang juga selalu menjadi sosok ayah untukku sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Berkat tangan kuatnya dan pundak bak besi tembaganya itulah aku bisa meraih gelar sarjanaku ini.
Aku mengerti bahwa keputus asaanku ini tidak akan merubah keadaan menjadi lebih baik. Tapi tak apa karena pagi ini aku telah menerima kabar yang sangat luar biasa, kabar yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh warga Indonesia, kabar yang aku harap mampu menyudahi kemiskinan rakyat ini, kabar yang sangat layak untuk mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya, kabar yang menepis sebagian rasa putus asaku, kabar yang setidaknya membantuku agar dapat bernafas lega, Americanesia.
“Dinginnya malam ini membuat hatiku semakin panas,” ucapku sembari mencoba untuk tidur, melupakan sejenak tentang bencana yang sedang menimpaku dan bangsaku.
“Selamat malam,” ucapku yang kutujukan kepada pemilik sebuah jepit rambut didalam genggamanku. Jepit rambut ini adalah milik Nay dan selalu dipakai olehnya semasa di bangku sekolah dulu. Saat kehidupan masih berada diatas jalan yang rata dan belum ada kerikil setajam masa sekarang.
Aku mencoba untuk memejamkan mata tetapi ingatan buruk datang menghantuiku. Sejenak membiarkan isi kepala untuk meluapkan rasa emosiku yang tertahan karena sistem pemerintahan bangsaku sendiri. Bagaimana bisa rakyat salah memilih pemimpin?. Jika pemimpin sudah berulah apakah hal tersebut adalah kesalahan rakyat dalam memilih?. Atau kesalahan pemimpin yang tenyata tidak sanggup memikul amanat berjuta-juta umat?. Lantas jika dirinya tidak sanggup diberi amanat mengapa harus meletakkan harga dirinya dibarisan paling depan menutupi rakyat-rakyat kecil sepertiku?. Berjalan menggunakaan sepatu kinclong mereka serta jas nyentrik yang menutupi perbuatan dosa yang telah menggunung. Seolah mereka sedang mendeklarasikan diri bahwa mereka adalah pemimpin sejati, pemimpin yang sedang dicari dan didambakan oleh semua manusia dimuka bumi. Apakah masih ada sosok pemimpin yang bisa dipercaya?. Aku rasa tidak, sistem pemerintahan saat ini menjadi bukti kuat betapa nelangsanya tanah airku yang tertatih membersihkan luka dirinya sendiri akibat korupsi para insan yang tidak benaluri.
(sudut pandang orang ketiga)
Dibelahan bumi yang berbeda, Nay masih berkutik dengan obat-obatan didepannya, mulai mengerutkan dahinya karena belum juga menemukan titik temu tentang bagaimana cara menciptakan formula obat yang di butuhkan. Lonceng tanda selesainya jam kerja pun berbunyi. Nay lantas bergegas meninggalkan ruangan kerjanya dan menyempatkan diri untuk menyeduh kopi di dapur. Sejenak menghangatkan diri dari dinginnya semesta yang mencoba menghakiminya belakangan ini.
“Hari demi hari hanya membuat kepalaku semakin pening,” keluh Nay kepada Rendra yang juga baru saja sampai di dapur.
“Apakah menurutmu obat yang kita teliti ini ada kaitannya dengan Amerika yang tiba-tiba mengajak Indonesia bekerjasama? Karena yang aku tahu negara Indonesia saat ini sedang mengalami krisis moneter, lalu apa sebenarnya keuntungan Amerika bekerja sama dengan Indonesia yang jelas-jelas perekonomiannya sedang tidak stabil?,” tanya Rendra kepada Nay.