Americanesia

ef fatma
Chapter #4

Misteri Kematian Paman Foster

Terduduk diruang tunggu rumah sakit dengan hati yang masih tidak percaya bahwa Paman Foster yang selama ini menjadi tetangganya meninggal tepat dihadapannya. Belum diketahui apa penyebabnya tetapi pihak rumah sakit hanya memberitahu bahwa hal tersebut karena penyakit jantungnya kambuh. Tanpa berfikir panjang Nay pun memberi tahu keluarga Paman Foster. Jenazah Paman Foster lalu dibawa kerumah duka dan dilakukan prosesi pemakaman sesuai agama dan adat mereka. Tetapi yang sedikit membuat Nay merasa aneh adalah jari-jari Paman Foster yang membiru serta wajah Paman Foster yang juga ikut membiru. Nay pun mengabadikannya melalui kamera polaroid keluaran 1960 yang dimilikinya. Tetapi Nay pun tidak ambil pusing terhadap hal itu.

“Thanks for taking care of our father Nay,” ucap Nicko, anak tertua Paman Foster.

“He’s like father to me so no worries. But may I know about something?,” tanya Nay kepada Nicko.

“Sure, what do you wanna ask?,” tanya Nicko.“Did he have a problem about heart disease?,” tanya Nay.

“Oh no, I can say he was the healthiest old man in this country. The doctor said that he passed away because he felt on the gound and had malfunctional on his brain,” jawab Nicko.

Nay pun menjadi kebingungan. Karena dokter berkata kepadanya bahwa Paman Foster meninggal akibat penyakit jantung, lantas mengapa dokter tersebut memberitahu kepada anaknya bahwa Paman Foster meninggal karena jatuh?.

Acara pemakaman pun sudah selesai. Tetapi anehnya Nay tidak dipebolehkan untuk melihat prosesi penguburan jasad Paman Foster. Hanya keluarga intinya saja yang diperbolehkan. Nay lalu bergegas kembali kerumahnya. Malam pun menjadi semakin dingin karena salju yang turun sejak sore tadi. Sesampainya dirumah, ia berganti baju dan duduk didekat jendela kamarnya. Lagi dan lagi ia kehilangan salah seorang yang penting didalam hidupnya. Kini seakan ia tidak lagi berani untuk berharap kepada manusia, bahkan untuk berharap kepada dirinya sendiri pun dia tidak mampu, apalagi kepada Tuhan, dia malu. Air mata turut serta meramaikan sepinya malam bersalju itu. Sesekali ia mencoba untuk menghapus air matanya dan memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya, menangis tak bersuara menahan sesak di dada.

Pikirannya kembali terfokus kepada keadaan keluarganya yang berada didalam himpitan ekonomi negara. Dia pun merasa sangat kesal dan marah kepada diri sendiri karena tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menunggu sampai kerjasama tersebut benar-benar terlaksana. Itulah satu-satunya harapan Nay saat ini, bahkan dia malu untuk berharap, takut untuk meminta dan enggan untuk menatap kegagalan yang sudah bisa dipastikan akan mengahantui dirinya.

“Kring...kring..kring!!,” bunyi telephone rumah sejenak menghentikan tangisnya.

“Hallo, Nay’s here. Who am I speaking to?,” tanya Nay dengan suara sedikit lemas.

“Nay ini aku, Rendra. Mengapa kamu terdengar seperti sangat lemas?,” tanya Rendra.

“Hai Ren, aku baru saja sampai rumah. Mungkin aku hanya kelelahan karena menghadiri pemakaman tetanggaku sejak tadi siang,” jawab Nay.

“Yasudah kalau begitu aku akan menggantikanmu untuk menghadiri pertemuan di kantor saat ini,” kata Rendra.

Lihat selengkapnya