Suara langkah kaki seorang pria berjas lengkap dengan dua ajudan dibelakangnya pun seolah mengisyaratkan kepada seluruh isi ruangan agar segera diam dan mengarahkan seluruh perhatian kepada seseorang itu. Ya, dia adalah pimpinan dari laboratorium biologis di Amerika ini. Mr. Jack, begitulah sapaannya. Pembawaannya yang kharismatik seolah sanggup membuat siapa saja terhanyut oleh perkataannya.
“First of all thanks for joining us, without any further do let’s get started,” ucapnya sembari melempar senyumnya ke setiap sudut ruangan.
Dia pun menerangkan apa yang sudah menjadi rencana negara perihal kerjasama dengan Indonesia. Nay pun terdiam seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh direktur tersebut, ingin rasanya dia menolak kerja sama itu tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya. Direktur pun mengutus Nay, Ayu, Damar, Rendra dan warga negara Amerika itu sendiri yang berjumlah 3 oang untuk mengatur kerjasama ini selama di Indonesia. Pertemuan pun ditutup. Pertemuan teburuk yang pernah mereka hadiri, pertemuan yang seakan menjadi awal dari keterpurukan di masa depan. Hal yang tidak pernah Nay pikirkan sebelumnya. Menjadikan bangsa Indonesia sebagai objek dalam pengujian masal obat tersebut.
Nay pun duduk termenung dikursi ruangan itu yang kemudian disusul oleh Ayu, Damar dan Rendra. “Bagaimana ini? Kita sama-sama tahu bahwa obat tersebut belum teruji keamanannya karena keterbatasan tekhnologi, lantas apa jadinya jika kita menjadikan orang Indonesia sebagai tikus percobaan dengan dalih membantu krisis moneter dengan memberi iming-iming uang yang sangat besar?,” tanya Nay dengan suara memelas.
Rendra pun hanya terdiam membisu seolah tidak tahu harus menjawab apa. Dia segera melangkah kan kaki keluar meninggalkan ruangan tersebut. Duduk termenung di mobilnya seakan mengisyaratkan bahwa tidak ingin jika kerjasama ini harus terjadi. Bagaimana tidak?. Hanya karena Indonesia sedang membutuhkan bantuan materi tetapi dengan sigapnya Amerika memainkan peran bak malaikat penolong dengan cara mengujikan obat yang belum jelas khasiatnya kepada Indonesia. Lantas bagaimana bila obat tersebut dapat menyebabkan efek yang fatal bahkan kematian? Bukankah ini sama saja dengan genosida ditengah krisis moneter?. Pembersihan massal jiwa manusia agar beban negara berkurang, bukankah ini brutal?. Rendra pun menangis, tak lama kemudian Nay pun menyusulnya.
“Ren, ada apa? Mengapa kamu menangis secara tiba-tiba?,” tanya Nay kepada Rendra.
“Ahh tidak apa, aku hanya sedikit rindu dengan keluargaku yang ada di Indonesia,” jawab Rendra sembari mengusap air matanya. Nay pun tesenyum dan berkata bahwa apa yang dirasakan Rendra juga dirasakan olehnya, begitupun Damar dan Ayu. Setelah Nay mencoba untuk menenangkan Rendra, mereka pun pulang karena hari sudah mulai larut.
Lagi-lagi salju pun turun di langit Amerika ini seakan membungkus resahnya hati dan mendinginkan semangat yang seharusnya selalu berkobar, bak api yang dihujani begitu saja oleh air, musnah, mati dan lenyap. Nay berniat ingin menghubungi Abi karena dia sangat merindukan kekasihnya itu.
“Abi, aku-...,” Nay pun mulai menangis.
“Nay kekasihku, aku sudah mendaftarkan diriku untuk ikut berpartisipasi dalam kerjasama itu, kau akan ikut ke Indonesia bukan?,” potong Abi.
Nay pun terisak dan menjelaskan kepada Abi tentang sistem kerjasama itu. Tetapi Abi pun kebingungan karena dia beserta keluarganya dan orang-orang sudah ikut mendaftarkan diri. Kerjasama tersbut layaknya lowongan kerja bagi orang-orang di bumi pertiwi. Dan yang membatalkan atau keluar dari pekerjaan tersebut harus membayar denda sebesar 10 juta. Uang darimana? Pemerintah pun tidak akan sanggup membantu karena keadaan roda perekonomian Indonesia memang sedang berada dibawah. Akhirnya Nay dan Abi pun mulai ketakutan, jiwa mereka seakan dihantui oleh rasa putus asa, hilang arah dan tak mampu untuk menemukan lentera kehidupan. Tetapi tiba-tiba Nay teringat akan satu pertanyaan.
“Abi, darimana kamu tahu tentang kerjasama ini?,” tanya Nay.