ndonesia, (sudut pandang Abi)
Suara ayam jantan berkokok berhasil membuatku untuk membuka mata. Berdiam sejenak lalu menetralisir badanku untuk menghadapi hari yang baru. Aku bergegas menuju ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk Ibu dan adik ku. Ibu ku saat ini sedang sakit dan aku yang harus menggantikan pekerjaan rumah tangga selama beliau sakit. Sesudah aku menyiapkan sarapan akupun membangunkan adik ku dan mengantarkan sarapan ketempat tidur ibuku. Setelahnya aku menuju ke warung kecilku dan mulai mengais rejeki untuk menghidupi kehidupan adik dan Ibuku. Pekerjaan yang bisa dibilang sangat jauh dari impianku, sangat jauh dari ekspektasi yang selama ini ku patenkan dalam benakku.
Diluar para demonstran telah memadati kota panas ini, pemandangan yang sudah biasa kulihat, miris memang. Apalagi aku, merasa seperti jiwa mudaku tertimbun jauh oleh pilunya kenyataan yang sedang kualami saat ini. Akupun teringat oleh Nay, sesosok perempuan yang dari dulu ku nantikan kepulangannya, dan aku rasa Tuhan menjawab doaku lewat kerjasama yang akan dilakukan oleh Amerika. Tetapi batinku tertahan untuk beberapa detik.
“Apakah yang diucapkan oleh Nay itu benar? Bahwa obat yang akan diujikan adalah obat yang belum lulus uji ? Lantas bila memang iya, apakah akan berbahaya bagi rakyat Indonesia? Apakah ini meupakan bantuan atau sebuah rentetan bencana yang akan dialami oleh Indonesia?,” batinku mulai meragu sembari membuka warung kecilku.
Tidak banyak uang yang aku hasilkan dari penjualan warung kecilku. Sebagian dari mereka memilih untuk mengutang dan ada pula yang menukar kebutuhan mereka dengan menggunakan beras. Ya, aku tidak pernah menyulitkan mereka untuk hal ini karena aku tahu mereka sedang membutuhkan bahan pokok untuk meneruskan kehidupan mereka dan keluarga mereka. Setelah aku rasa cukup sepi, aku pun istirahat sejenak sembari berpikir dimana aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangku. Akupun terpikirkan oleh satu orang yaitu Rudi Wijaya, ayah dari Narendra.
Hari menjelang sore dan akupun mulai untuk membereskan warungku, setelah itu aku bergegas menuju kerumah ayah dari Narendra.
“Tok..tok...tok,” kuketuk pintu rumahnya yang bahkan tingginya sangat jauh diatasku.
“Iya sebentar... Oh ada teman Rendra, mari masuk bi,” kata pak Rudi setelah membukakan pintu untukku.
‘Terimakasih pak Rudi,” jawabku sembari mengikutinya dari belakang. Pak Rudi pun mempersilahkan duduk dan aku mulai memberitahu beliau maksud dan tujuan ku datang kemari. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah untuk meminta bantuan agar aku dapat mempunyai pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaanku yang sekarang ini.
“Begini bi, bapak bisa saja membantumu, apa kamu sudah mendaftarkan diri dalam program kerjasama dengan Amerika?,’ tanya Pak Rudi.
“Sudah pak, apa ada hal lain yang bisa saya lakukan?,” tanyaku.
“Saya akan membantumu untuk masuk kedalam tim dari Indonesia dalam kerja sama itu, nanti imbalan yang kamu terima akan betambah menjadi 2x lipat bahkan jika beruntung kamu akan ikut kmbali ke Amerika dan bekerja disana setelah kerja sama ini berhasil dilakukan,” kata Pak Rudi. Sontak akupun langsung mengangguk pertanda setuju dengan masukan Pak Rudi.