Selesai melakukan yoga, tanganku meraih ponsel yang tergeletak di atas lantai samping kiri ku, entah kenapa jari-jemariku membuka aplikasi WhatsApp dan berakhir di satu nama yang selalu membuatku rindu, Azhim, ya pria itu.
Jujur aku terkejut saat melihat notif online di WhatsApp Azhim, karena bukan tanpa alasan aku terkejut, jika dihitung perbedaan jam antara Indonesia dan Turki adalah selisih empat jam, dan saat ini di Indonesia pukul 06.48 pagi maka di Turki pukul 02.48 malam, tanpa ragu aku pun langsung mengirimkan pesan kepadanya.
-------------------------------------------
Chat
Biyya
Woy lu blm tidur?
Setelah pesan itu terkirim, notif online-nya pun menghilang, aku menunggu balasan tersebut, namun tak kunjung ada balasan. Mungkin saja Azhim sudah tidur ketika pesanku terkirim, setelah aku menunggunya sekitar dua puluh menit, aku pun menaruh ponsel itu di atas meja kerjaku dan berjalan menuju kamar mandi.
Lima belas menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju meja rias. Setelah rapih, langkahku berjalan keluar rumah, saat aku akan membuka pintu, tiba-tiba saja kak Andras memanggilku dari arah belakang.
“Dek lo mau ketukang sayur kan?”
“Iya, kenapa emang?”
“Gue pengen udang balado sama tumis lengkio, hari ini masakin gue itu ya,” pintanya dengan wajah sok imut.
“Iye,” jawabku singkat dan langsung pergi keluar rumah.
“Makasih cantik,” teriak kak Andras dari dalam rumah.
Aku pun menunggu tukang sayur di depan gerbang, tidak lama tukang sayur pun datang.
“Abang,” panggilku dan berjalan mendekati tukang sayur tersebut.
“Eh neng Biyya, mau beli apa neng?” tanya tukang sayur itu turun dari motornya.
“Biyya mau udang 1 kg, lengkio satu iket, sama kerupuk satu toros”.
“Siap neng Biyya”.
Tukang sayur itu pun langsung memasukkan satu persatu pesananku ke dalam kantung plastik.
“Udang pasti pesenan si aa ya?” tanya tukang sayur itu tersenyum.
“Iya tuh pesenan paduka raja,” jawabku cemberut.
Tukang sayur itu tersenyum melihat raut wajahku.
“Emang hari ini neng Biyya masak apa?”
“Biyya mau masak ayam balado sama tumis lengkio bang”.
“Wiiihhhh enak tuh pasti,” ujar tukang sayur tersebut sambil memberikan kantung plastik berisikan belanjaanku, “Nih neng pesenannya”.
“Pasti dong enak,” jawabku tersenyum.
“Jadi berapa bang semuanya?”
“Jadi empat puluh lima ribu”.
Aku pun merogoh uang dari saku celanaku dan memberikannya kepada tukang sayur tersebut.
“Makasih ya bang,” ujarku tersenyum.
“Iya neng sama-sama,” jawab tukang sayur sambil tersenyum dan kemudian menaiki motornya.
Aku pun membuka gerbang dan masuk ke dalam rumah, setelah tukang sayur tersebut pergi. Langkahku berjalan menuju dapur, sesampainya di dapur, aku langsung mempersiapkan satu persatu bahan, dengan ditemani lagu korea yang kuputar dari ponselku.
Saat aku sedang asik memasak, tiba-tiba saja kak Andras mengejutkanku dari arah belakang.
“Wiiihh enak banget nih keknya,” ujarnya setengah berteriak.
“Iiiiihhh…bisa gak sih lo gak usah teriak di kuping gue,” sentakku terkejut dan reflek memukul tangan kak Andras.
“Jantung lo lemah,” ledek kak Andras yang mengambil satu udang dari atas piring dan mendaratkan di dalam mulutnya.
Reflek aku memukul tangan kak Andras, “Iiiihhh kebiasaan suka langsung nyomot makanan pake tangan”.
“Ya emang ngapa sih dek, pelit amat lu”.
“Ya kalau mau tuh ambil pake piring, jangan langsung nyomot dari sini, gak sopan tahu”.