Pagi telah menyambut dengan lembut, sinar mentari mulai mengintip melalui celah-celah tirai jendela kamarku, kicauan burung mulai bersahutan dari satu pohon ke pohon lain, ponselku berdering, aku meraih ponsel yang kini tergeletak di atas laci samping tempat tidurku, mataku yang masih setengah tertutup menatap layar ponsel dan mengangkat panggilan telepon tersebut.
‘Assalamuallaikum,” Biyya mengawali pembicaraan.
‘Wallaikum salam, heh lo baru bangun ya?’
‘Hhhhmmm’.
‘Jadi latihan gak?’
‘Jadi’
‘Yaudah buruan mandi, gue tunggu lo di rumah’.
‘Iya’.
Panggilan terputus dari ujung sana, aku bangun dan duduk di atas kasur, tanganku menjelajahi mata mengucek-ngucek kemudian menggeliat. Baru beberapa detik aku merasakan ketenangan pagi ini, tiba-tiba saja suara teriakan kak Andraste menggema dari ruang makan.
“Biyyaaaa! Cepet bangun, gue udah bikinin lo nasi goreng nih”.
“Ya Allah tolong sehari aja mulut a Andras disolatip, kuping Biyya pengang denger teriakan a Andras tiap hari”.
Aku berjalan gontai menuju kamar mandi. Kak Andraste sudah duduk di ruang makan sedari tadi, wajahnya terlihat bete karena lama menungguku, berkali-kali dia menatap jam tangan yang melingkari tangan kirinya. Dua puluh menit sudah kak Andraste menungguku, aku berjalan menuju ruang makan dengan wajah tersenyum, kemudian duduk di depan kak Andraste.
“Mohon maaf masih pagi, itu muka ngapa udah kecut aje kek keringet diketek,” ledekku tersenyum.
“Nasi goreng buatan gue udah masuk angin gara-gara nungguin elo, lama banget!”
“Ya maaf, Biyya kan tadi harus mandi dulu a”.
“Lo mau latihan silat?”
Aku hanya mengangguk sambil menyendok nasi goreng dari piring dan mendaratkannya dimulut, kak Andraste pun mulai menyantap nasi goreng buatannya, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang menari lincah di atas piring. Selesai makan, aku langsung berpamitan kepada kak Andraste.
“Pulang jam berapa?” tanya kak Andraste masih duduk.
“Jam 12 atau 1,” jawabku yang sudah empat langkah menjauh dari kak Andraste.
Aku berjalan menuju keluar rumah dan membuka pintu untuk menunggu grab, lima menit kemudian grab tersebut tiba.
“Mbak Gazbiyya ya?”
Aku menoleh ke arah pria paruh baya tersebut dan berseloroh.
“Oh iya pak benar”.
“Ini mbak helm nya,” ujar driver grab tersebut sambil menyodorkan helm ke arahku, aku mengambil helm itu dan memakainya, lalu naik ke atas motor.
Motor pun mulai melaju, ruas jalanan ibu kota ternyata masih saja sama seperti biasanya ramai oleh kendaraan. Tiba-tiba ponselku berdering, kutatap layar tersebut, satu panggilan dari Eira, aku mengangkat panggilan tersebut.
‘Hallo,’ aku mengawali pembicaraan.
‘Di mana lo? Gue udah di depan gang rumah nih’.