Tiba di kampus, aku dan Eira langsung pergi menuju kamar mandi untuk berganti baju, selesai berganti baju, kami berjalan mendekati Vino. Hari ini pelatih kami tidak bisa datang, jadi Vino lah yang menggantikannya.
“Ini bocah belum pada dateng?” tanya Eira kepada Vino, tapi Vino hanya menggelengkan kepalanya.
Vino, pria cuek, dingin bahkan lebih dingin dari pada kulkas 24 pintu, dia hanya akan mengeluarkan suara emasnya jika berada dalam keadaan yang menurutnya penting. Sepuluh menit kemudian kami semua telah berkumpul, latihan pun dimulai. Seperti biasa, sebelum latihan kami melakukan pemanasan terlebih dahulu.
Selesai melakukan pemanasan, Vino meminta kepada kami semua untuk berpasangan, ada yang bertugas memegang patching dan ada juga yang menendang serta menonjok.
“Okay semuanya dengerin gue. Ambil patching dan langsung cari pasangannya masing-masing, nanti ada yang megang patching, ada juga yang nonjok dan nendang, masing-masing lima kali, nonjok lima kali kanan kiri, nendang juga lima kali kanan kiri, kalau udah selesai gentian, paham semua?”
“Paham!” jawab kami kompak.
Satu persatu mereka mulai mengambil patching yang sudah ditaruh di pinggir lapangan, begitu pun denganku, saat aku akan berpasangan dengan Eira, tiba-tiba Vino berjalan mendekatiku.
“Lo sama gue, Eira lo sama Griska,” ujar Vino datar.
“Dih, nggak!” tolak Eira.
“Hari ini gue pelatihnya dan lo gak boleh nolak”.
“Bentar-bentar, gue gak setuju,” timpalku.
“Nih ya, lo kan cowok sedangkan gue cewek, terus lo bilang kan tadi ganti-gantian, lo gila yaa, tendangan lo kan sama tendangan gue jauh beda, lo mau ngebunuh gue?” aku menatap tajam Vino.
“Lo tenang aja, gue cuma ngeluarin lima puluh persen power gue”.
“Gila lo ya! Lima puluh persennya elo itu sama dengan seratus persennya power gue, itu juga dulu, gak tahu sekarang, gak bisa gak bisa, gue pokoknya pasangan sama Eira kek biasanya, titik!”
“Griska!” panggil Vino, Griska jalan mendekati kami bertiga sambil membawa patching.
“Lo sama Eira,” perintah Vino.
“Udah ayo buruan, kasian yang lain udah pada nunggu, biar cepet mulai,” Vino menarik tanganku.
“Gue gak mau sama lo,” tolakku sambil menggibaskan tangan Vino.
“Lo tenang aja sih, gue janji, gue gak bakal nonjok ataupun nendang keras-keras, sini patchingnya,” ujar Vino merebut patching dari tanganku.
Aku dan Vino sudah mengambil posisi, begitupun dengan yang lainnya.
“Okay semuanya, mulai!” perintah Vino.
Aku justru malah menatap Vino tajam.
“Buruan mulai!” perintah Vino.
“Dasar otoriter!”
Aku pun mulai menendang patching tersebut, satu menit kemudian, aku mengganti tendangan dengan tonjokan, kelemahanku adalah di tonjokan sebelah kiri, entah kenapa tangan sebelah kiriku jika dipakai untuk menonjok, tenaganya tidak keluar.
“Powernya tambah lagi,” ujar Vino, aku hanya menatap tajam Vino.
Sengaja banget nih orang, udeh tahu tonjokan kiri gue mati. Gumamku kesal.
Aku pun menambah kekuatan tonjokan sebelah kiriku, tetapi hal tidak terduga justru terjadi, saat tonjokan keempat, tanganku terkilir.
“Aaawwww,” pekikku yang langsung berhenti, reflek Vino langsung menaruh patching tersebut dan mendekatiku.
“Tangan lo kenapa? Coba sini lihat!” ujar Vino panik yang langsung menarik tanganku lembut, dan mulai memijat tanganku.
Saat Vino memijat tanganku, yang lain justru ikut berhenti dan memperhatikan dan meledeki kami berdua.
“Siapa yang suruh berhenti? Lanjutin!” ujar Vino tegas, merekapun kembali melanjutkannya.