Perpisahan dalam kisah cinta adalah episode paling menyakitkan. Ketika semua tak lagi sama, dua orang yang pernah begitu dekat, akhirnya memutuskan untuk tak lagi bersama. Dahulu, kisah yang diciptakan dengan kebahagiaan, harus berhenti dengan tangisan. Tak ada perpisahan yang berakhir baik-baik saja, semua menyisakan momen yang menyesakkan dada.
Kini, hanya rindu yang mengudara tak terobati bersama rasa sakit tiada akhir. Tak ada lagi jalan pulang, tatkala hati enggan mengulang. Tak ada lagi senyuman, tatkala keduanya sudah berbeda jalan. Ikhlas adalah satu kata yang dipaksakan ada. Sebab, semuanya berawal dari terpaksa menjadi terbiasa.
Ia menutup buku pada lembaran akhir yang dibacanya. Setelah itu, ia usap air mata yang mengalir melalui pipi, merasakan sesak seolah dirinya juga mengalami. Kisah yang ia baca di buku novel ini begitu menyesakkan hati. Cinta yang diawali dengan kebahagiaan harus berakhir dengan perpisahan, sungguh tragis. Ia bahkan tak tahu bahwa novel ini akan berakhir dengan episode menyedihkan. Padahal dari judul dan blurb, nampak menawarkan kisah dengan akhir bahagia. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memang tak bisa ditebak, begitu juga dengan buku yang baru selesai ia baca.
Satu pertanyaan yang terlintas di pikirannya begitu menyimpan buku dan menatap langit-langit ruangan adalah: apakah kisah cintanya juga akan berakhir menyedihkan?
Sebuah pertanyaan yang hanya melayang di udara, sebab ia sendiri tak bisa menerka. Jangankan memiliki kekasih, dekat dengan lelaki pun dia enggan. Jika hanya sebatas teman, ia dengan senang hati menerima. Namun, entah kenapa, untuk lebih dari itu ia belum siap menjalani.
Di tengah lamunan tak berarti itu, sebuah dering ponsel mengalihkan atensinya. Alarm pukul 11 siang mengingatkannya pada jadwal seminar arkeolog yang akan ia hadiri hari ini. Dengan gerak cepat ia langsung loncat dari ranjang menuju kamar mandi. Ia harus menghadiri seminar ini dengan tepat waktu. Sebab, acara tersebut telah ia nantikan sejak satu minggu lalu.
Setelah 15 menit membersihkan diri di kamar mandi, gadis berambut coklat sebahu itu merapikan diri di depan cermin. Pakaiannya sederhana seperti biasa, ia memakai kemeja coklat dengan dalaman kaus putih polos dan celana levis berwarna hitam. Ia tidak terlalu memperhatikan gaya berpakaian seperti gadis pada umumnya. Baginya, busana apa pun akan dipakai selama ia nyaman. Meski demikian, wajahnya yang tampak menarik dan cantik membuat dirinya cocok di segala jenis pakaian. Jadi, ia tak perlu mengkhawatirkan pendapat orang lain mengenai gaya berpakaiannya. Sebab, di balik kekurangannya yang tak terlalu mengikuti trend, ada kelebihan yang ia miliki, wajahnya.
Setelah merapikan diri, ia segera mengemasi beberapa buku arkeolog ke dalam tas selempangnya, tak lupa dengan lembaran skripsi yang belum rampung. Di seminar itu bukan hanya untuk mewujudkan kesenangannya saja karena begitu mencintai dunia arkeologi dan sejarah budaya, tetapi juga sebagai referensi penelitian skripsinya.
Kecintaannya terhadap dunia arkeologi dan sejarah tidak semerta-merta muncul, semua itu karena mendiang ayahnya yang juga seorang peneliti artefak budaya. Saat ayahnya masih hidup, Dara selalu diajari tentang sejarah oleh ayahnya. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama untuk mempelajari banyak hal di ruang kerja. Akhirnya, setelah ayahnya pergi, Dara berniat melanjutkan profesi itu dan mewujudkan mimpi ayahnya untuk membangun komunitas sejarah Nusantara dan museum artefak budaya yang belum sempat tercapai.
Setelah semuanya siap, gadis itu mengambil kunci mobil dan mengunci apartemennya dari luar. Apartemen yang sudah ia tinggali seorang diri selama dua tahun itu jaraknya lumayan jauh dari kampus. Ia membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit untuk sampai. Artinya, ia akan berada di kampus hari ini sekitar pukul 12 siang. Itu juga jika tidak terjebak macet di jalanan.
Mobil berwarna putih itu terparkir manis di basemen gedung utama kampus. Setelah sedikit merapikan diri di cermin, ia keluar dari mobilnya dan langsung mendapati sahabat sejak kuliah tengah berdiri di pintu lift basemen. Gadis berambut panjang dengan gaya berpakain mencolok itu telah menunggunya sejak puluhan menit yang lalu.
“Dara!” teriaknya sembari berlari kecil menghampiri.
Gadis yang bernama Dara melambaikan tangan, membalas sapaan sahabatnya, Tania.
“Kamu telat 10 menit, bangku aula pasti udah dipenuhi banyak orangl. Padahal kan semalem aku ngingetin ke kamu supaya datang lebih awal. Ah, jadi sedih, soalnya cuman bisa lihat dosen ganteng itu dari jauh.” Gerutu Tania, padahal satu menit yang lalu ekspresinya ceria ketika menyapa Dara.
Dara tersenyum, ia tak merasa asing lagi menanggapi sikap genit sahabatnya ini. Apalagi kepada dosen muda yang terkenal di kampusnya, dosen itu kebetulan yang mengadakan seminar ini. Jadi, Tania adalah salah satu dari ratusan mahasiswi yang semangat menghadiri seminar untuk bertemu dengannya, alih-alih tertarik pada seminar tersebut. Tak peduli jika sebagian dari mereka adalah mahasiswi lintas jurusan, karena yang terpenting bisa bertemu dengan dosen muda idaman.
Dara merangkul sahabatnya itu dengan senyuman manisnya. “Udah gausah sedih, kita pasti dapet bangku di depan kok. Masa kamu lupa soal kelebihan aku?” Dara memberikan isyarat yang mampu dibaca oleh Tania. Hingga sedetik kemudian Tania bersorak dan segera merapikan rambutnya di layar ponsel.
“Sahabat aku emang selalu bisa diandelin.” Sahut Tania.
“Ini yang paling bisa kamu andelin, Tan,” tunjuknya pada wajahnya sendiri, “jangan ragukan kekuatan seorang Dara!”
Keduanya melewati lobi gedung utama menuju aula yang berada di antara gedung utama dan gedung fakultas hukum. Ketika memasuki area halaman aula, Dara merasakan getaran di tasnya, kemungkinan ada seseorang yang berusaha menghubunginya. Dara merogoh tasnya, jari-jarinya menyentuh permukaan dingin ponsel di dalamnya. Saat ia menariknya keluar, dari arah berlawanan seorang pria berjalan, langkahnya tenang, tanpa terburu-buru. Tepat ketika mereka bersampingan, seolah ada angin tak terlihat yang menghantam wajahnya—keras, mendadak, namun tak bersuara. Tubuh Dara menegang seketika, jantungnya berdegup kencang, seperti baru saja diseret masuk ke dalam dimensi lain yang asing. Waktu terasa melambat, semuanya kabur, kecuali sensasi aneh yang menguasai dirinya.
Dalam kekalutan, Dara menoleh, matanya mencari-cari sumber dari kegelisahan yang baru saja menyelimutinya. Pandangannya menangkap punggung seorang pria tinggi yang perlahan menjauh, tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya mantap, seolah kejadian yang baru saja berlangsung tak pernah ada. Tidak baginya. Namun bagi Dara, sesuatu telah berubah.
Di tengah kebingungan dan kekalutan itu, tubuh Dara diguncang oleh Tania. Ternyata sahabatnya itu sudah sejak tadi berusaha menyadarkan Dara dengan memanggil namanya berulang. Dara memejamkan mata, berusaha berpikir logis bahwa kejadian tadi hanya perasaannya saja.
Dara sebenarnya memiliki kemampuan yang tak biasa—kemampuan untuk merasakan hal-hal yang berada di luar jangkauan indra manusia biasa. Itu sebabnya, saat pria itu melewatinya, ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Kekuatan tak terlihat, seperti tiupan angin dingin yang tak nyata, menghantamnya tepat di wajah. Orang lain mungkin tidak akan merasakan apa-apa, tapi bagi Dara, sensasi itu begitu nyata, begitu kuat, hingga tubuhnya refleks menegang.
“Dara, kamu gapapa?”
Dara menatap Tania dengan perasaan yang tak bisa ia deskripsikan sejak kejadian tadi. Namun, ia berusaha menyembunyikannya dengan tersenyum kepada Tania. “Aku gapapa. Ayok, kita harus cepet-cepet ke aula.” Ia kembali merangkul Tania dan berjalan lebih cepat dari biasanya. Di perjalanan itu, Dara sempat menoleh ke belakang untuk sekali lagi melihat sosok lelaki yang tak ia kenali.