AMERTA

amerta
Chapter #1

BAB 1

RAKA

Kita lebih kuat dibanding ego

Jika mampu menjadi Tuhan yang bebas mengatur

Jagat raya kau bergerak, kenapa menjadi hamba ego yang kau pilih?

Bukannya sebelum diciptakan ego, nurani lebih dulu ada?

Dipikiranku, kelak saat dewasa aku tidak ingin menjadi lelaki seperti Ayah. Seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar memegang ajaran yang dia berikan padaku. Formalitasnya sebagai Ayah yang mengajarkan anaknya perihal kehidupan, tetapi bertolak belakang dengan kenyataan yang dia berikan.

Ayah pernah bilang, sesuatu yang bukan milik kita sebaiknya jangan didekati, mengambilnya terlebih merampas hak-hak yang lebih membutuhkan. Kenyataannya, Ayah sendiri melanggar ucapannya. Dia menyelundupkan dana yang diberikan perusahaan yang seharusnya digunakan untuk keperluan tertentu.

Malangnya, aku dan Ibu tidak tahu mengenai masalah itu. Kami hanya tahu Ayah dipenjara karena tuduhan korupsi. Aku tidak bisa melupakan bagaimana keterkejutan Ibu pun kehidupanku yang semula bisa dibilang berada kini jauh dari ketiadaan. Aku beruntung tidak hidup dimanja sedari kecil.

“Nak, menjadi apa adanya adalah cara manusia menerima hidup. Tidak menuhankan ego juga selalu bersyukur. Sebetulnya kita dilahirkan dalam keadaan yang serba cukup, hanya saja manusia selalu merasa kurang. Sikap seperti itu dibenci seluruh penghuni langit, Nak.”

Ibu mendatangi kamarku dan bertanya sudah makan atau belum. Aku cuek saja dibalik selimut. Ada perasaan yang sulit kubendung setiap kali Ibu memberi nasihat. Semacam kehangatan yang tidak kutemukan dalam perkataan Ayah.

“Bu, apa hakikat manusia sebatas kepura-puraan?”

“Saat dihadapkan pada situasi yang kita sendiri sulit menghadapinya, manusia akan bersikap berpura-pura. Merasa menyembunyikan pilihan terbaik, dibalik senyum sebetulnya lagi bersedih, atau dendam-dendam selama ini dipupuk dibiarkan pecah lalu menghancurkan diri. Ada banyak cara manusia menyembunyikan masalahnya, Raka.”

“Ayah juga begitu? Berpura-pura sanggup menghidupi kita, tapi sebenarnya enggak!”

“Eit! Kenapa anak Ibu jadi mellow sekali?”

“Bu…”

“Ibu ada hadiah untukmu. “

Maka, hampir setiap isi kepalaku yang berisik, bunyi ketukan mesin tik pemberian Ibu mengiringi aksara yang mulai menemukan tempatnya dalam berkata. Atau saat menatap gelap langit, berharap Ibu ada di antara bintang, mesin tik ini tempatku menumpahkan segala resah.

-00-

“Ngelamunin apa sih, Kak?”

Aku sedari tadi menatap secangkir kopi beralih pada bibir yang mengulum senyum layaknya pelangi yang muncul setelah hujan reda. 

“Hobinya bikin kaget aku mulu!”

Dia tertawa merasa tidak bersalah. “ Siapa suruh ngelamun. Kalau ngelamunin aku sih enggak masalah.”

“Ngarep dilamunin.”

Dari semua yang Arunika miliki, matanya menjadi salah satu fokus favoritku berlabuh. Matamu jendela, Aru. Menyimpan matahari pagi, sesuai namamu. Kehadiran mentari yang selalu dinanti-nanti seluruh penghuni bumi. Bisa mengetahuimu di antara ucapan selamat pagi yang kuterima membuatku ingin terus menyibak jendela kerapkali esok itu muncul. 

Aru begitu senang memotret apa saja yang menurutnya indah. Sebetulnya keindahan itu sendiri bermukim saat pendar senyumnya bertanya kabarku. Atau saat jemari Aru diam-diam mengambil gambarku yang akan membuatnya tersipu saat aku pergoki. Dia juga berhasil menarik titik terlemah yang selama ini mengusik isi kepala. Saat aku terus-terusan menampik masa lalu yang memorak-porandakan masa depanku, kehadirannya bentuk kedamaian sementara sebelum penerimaan.

Aku dan Aru membicarakan hal-hal yang berhasil saling kami lengkapi. Apa yang berhasil ditangkap Aru melalui lensanya pun tulisan-tulisanku membiarkan diri kita dilihat jawaban-jawaban dari sekian pertanyaan.

“Ru, aku mau bertanya nih”

“Sejak kapan bertanya harus minta izin dulu, Kak?”

“Pertanyaan itu ada dua jenis, Aru. Pertama sekedar penasaran, kedua ingin membenarkan apa yang kamu pikirkan.”

“Kalau kamu?”

“Yang ketiga. Membuktikan kalau kamu benar mengenal aku apa enggak.”

“Ngaco! Jadi harus sama-samaan gitu?”

“Menurutmu hubungan perasaan dan takdir bagaimana?” Aku bertanya seraya menyeruput habis sisa kopi yang sudah mulai dingin.

“Saling berkaitan tentunya.” Aru keliatan tengah berpikir. Mencoba menerka ke mana arah pertanyaanku. “Juga saling bercanda.” 

“Takdir apa rasa yang sebenarnya suka bercanda?”

“Jadi rasa yang suka bercandain takdir? Atau takdir yang suka bercandain rasa?” 

“Atau manusia cuma permainan rasa dan takdir?” balasku

“Manusia oh manusia,” kami berdua tertawa lepas, tidak peduli seisi kafe memerhatikan aku dan Aru. Jarang sekali aku mengekspresikan kesenangan selepas tawaku barusan. Tak terasa Aru mampu mempengaruhi hidupku sedemikan rupa. Semakin sering kami membagi rahasia-rahasia, sesering itu Aru menerbitkan nurani yang sebelumnya bebal oleh ego yang begitu keras kepala. Kehadirannya mampu membuatku merasa baik-baik saja. 

Adakah seorang yang diberi kuasa mengatur kepergian dan kepulangan?

Siapa yang berhak pergi

Siapa diharuskan menetap

Adakah seorang diserahkan tugas pelik mengatur pertemuan dan perpisahan?

Malam ini, nyaman menjadi tempat tidurmu

Lusa, kembali berkabung menuntut temu

Lalu kita tersadar, kita diberi kuasa, kita diserahkan tugas paling bijaksana

Namun apa kamu mengerti

Sebagian dirimu butuh dikuatkan

Sebagian lagi butuh diuji kesabaran 

Aku menyudahi tulisan yang aku buat di lembar belakang potret langit bidikan Aru yang telah dicetak. Takdir, perhatianku jatuh pada satu kata dengan beribu pemahaman di dalamnya. Melingkari tulisan itu berkali-kali, entah kenapa aku malah mengulum senyum. Lucu, takdir bisa seberpengaruh itu mengacaukan ruang di kepalaku. 

Bicara takdir,

Lihat selengkapnya