AMERTA

amerta
Chapter #2

BAB 2

ARUNIKA

Sebaris saja aku membaca puisi buatan Raka, senyumku dibuat tidak terbendung. Raka adalah orang yang selalu bisa buat aku gagal menahan sipu. Tangannya yang cekatan mengetik satu persatu kata, membuat aku berpikir kalau kupegang tangan itu seperti apa rasanya. Mungkin agak menghangat, karena di sini anginnya kencang sekali, buat aku menggigil.

Sementara aku memerhatikan dari sisi samping wajahnya, Raka menatap lurus ke depan. Ke arah gelombang ombak yang menggulung dan matahari yang menyurut kian arloji berjalan. Aku lebih suka melihat wajahnya ketimbang melihat langit senja yang dikagum-kagumi oleh Raka. Dia menjadi salah satu kekagumanku, itu alasan aku mau berbaur ikut bersamanya hari ini, terkait masalah dibuatkan puisi.

“Ru...”

Mau mengalih pun terlambat, Raka terlanjur melihatku yang terlalu fokus menatapnya. “Apa?”

“Kok lihat akunya begitu banget.”

“Habis aku heran, pertama emangnya enggak berat bawa alat itu terus?” Aku menunjuk mesin tik Raka yang ditaruh sebagai bantalan. “Itu beratkan?”

Raka cuma mesem-mesem. “Alasannya sederhana kok, aku suka bawa mesin tik itu sesuka kamu kalau lagi selfie.”

Dari dulu, Raka bilang hobi memotretku dibilang hobi selfie, padahal aku senang memotret pemandangan, pun dengan pemandangan yang ada di sampingku sekarang. Bukan senja. Tapi Raka. Menjadi objek natural yang harus aku abadikan setiap inci dari wajahnya.

Apa aku perlu mengajari Raka untuk berselfie?

“Oh iya.” Aku mengeluarkan ponsel dan mencari menu kamera. Harus aku abadikan kenangan hari ini. Jangan sampai terlewat.

“Kenapa? Sudah dibilangin jangan bikin aku kaget mulu dong.”

“Hehehe. Selfie dulu kita.”

Raka diam, tapi tidak menolak. Saat aku nyalakan kamera dia tersenyum. Nyaris tiap bergilir, aku malah melihat ekspresi wajah aneh Raka di kamera.

Hari ini, kamera digitalku tersimpan di rumah. Jujur setelah pemandangan langit, sekolah dan keluargaku, Raka menjadi objek terbanyak yang memenuhi memoriku. Aku memotretnya jelas tanpa sepengetahuan Raka. Itu sebabnya aku tidak pernah menunjukkan kameraku kepadanya kalau belum kusalin semua foto Raka ke laptop.

“Ru, tadi kamu bilang pertama. Kalau ada pertama pasti ada keduanya, apa itu?”

“Eh, iya apa?”

Raka mengambil ponselku tiba-tiba. “Aku tahu kalau aku ganteng, sudah jangan dilihat mulu fotonya. Nanti naksir.”

Aku cuma bisa senyum-senyum sambil berbisik dalam hati. Sudah naksir dari dulu sepertinya.

“Balikin handphone aku.”

“Jawab dulu apa,” Raka balik ke pertanyaan.

“Yang kedua, aku cuma penasaran, Kak, kamu udah kelas tiga SMA tapi tetap santai tuh. Enggak memikirkan mau lanjut perguruan tinggi mana?”

“Enggak minat.”

“Terus mau lanjut ke mana? Tunggu-tunggu biar aku tebak. Mau masuk sekolah dinas?’

“Enggak juga.” Raka menggeleng sambil memanyunkan bibir. “Ayo tebak.”

“Yang pasti kamu mau jadi penulis.”

“Mungkin, bisa jadi, enggak-enggak.”

“Aku serius, Kak.”

“Aku mau ngelilingin negara kita dulu, Ru. Itung-itung mengabdikan diri.”

Aku diam.

Aku menafsirkannya sebagai bentuk bahwa Raka ingin menjadi pelancong. Tidak tentu arah, asal tujuan, dan menjadi sebebas yang dia ingin. Aku tahu ini terdengar egois, bagaimana dengan kabar hatiku jika ia tidak ada disini.

“Kita masih akan kontakan. Jaman sudah canggih bukan? Jangan takut aku tinggal.”

Ia paling bisa buat kecemasan menjadi surut dengan kata-kata sederhananya. Hal yang membuat aku berpikir, benar kalau ia meninggalkanku siapa yang mampu meredam resah-resah ini sementara dirinya menjadi utama kecemasanku.

“Wah, kamu bakal ninggalin Ayah dong. Kasihan, dia pasti kesepian. Enggak ada yang jenguk nanti.”

“Memangnya aku suka jenguk dia? Yang jenguk itu selalu kamu. Harusnya aku yang bilang begitu.”

“Tapi kamu kan yang selalu antar aku.”

Raka tidak lanjut membalas. Dari sorot wajahnya, aku bisa menebak apa yang dia rasakan. Raka memang begitu kalau sudah menyangkut masalah Ayahnya.

“Kalau kamu mau jadi apa setelah lulus nanti?” Raka balik bertanya dan itung-itung mengalihkan topik.

Aku? Tadinya aku benar-benar tidak berpikir mau jadi apa aku ini setelah lulus? Bagaimana? Aku hidup layaknya air mengalir, cuma menunggu kapan tiba di hilir. Aku takut menjadi perahu di atas air, kadang bisa goyah, belum lagi jika ada badai. Mengakhiri hari, tepat pada senja kali ini, aku memutuskan ingin menjadi penjelajah sama seperti Raka.

“Aku mau menjadi penjelajah juga. Hitung-hitung mengabdikan diri. Cuma aku belum tahu destinasinya, aku belum bikin list, soalnya baru terpikir tadi sih. Kalau kamu mungkin tujuannya untuk menulis, aku ingin potret pemandangan alam indah yang Indonesia punya.”

Biar ia mencintai senja saja dan aku fajarnya. Biar ia menulis saja dan aku menjadikannya objek. Biar kelak aku menemukan alasan-alasan agar pertemuan menuntun kita ke depannya. Biarkan ada satu hal yang menjadi kesamaan dalam keberagaman kita, Raka.

 “Kalau begitu aku buatkan destinasinya biar kamu bisa foto semua pemandangan alam Indonesia, lalu akan aku jelajahi semua dan persinggahan terakhir adalah dirimu.”

Aku cuma bisa angguk-angguk kalau dia sudah mulai memainkan kata-katanya. “Mending balikin handphone aku, Kak.”

“Sudah sore, pulang yuk.”

Aku bangkit berdiri. Matahari semakin jingga di ufuk barat bersama temaram lampu dan burung-burung laut, kita memisahkan diri dari pantai. Raka menjinjing tasnya di balik punggung, tangannya menggenggam handphone ku dan mesin tik berada di pelukannya.

“Bawa sepatu aku, ya.”

“Aku bawa alat ketiknya saja.”

“Enggak boleh, lagian sepatu aku enggak bau kok.”

“Aku enggak bilang sepatumu bau loh, Kak.”

“Tapi aku tersinggung tadi.”

Aku tertawa. “Iya-iya.”

Aku tidak pernah diperbolehkan untuk membawa mesin tiknya, padahal niat membantu. Mesin tik menjadi barang berharga untuk Raka, makanya, dia bilang takut jatuh karena aku tidak kuat membawanya.

Motor Raka terparkir tidak jauh, ujung spion terlihat waktu aku baru berjalan lima langkah. Kaki telanjang kita sama-sama menyeret pasir.

Hari ini, pertemuan dengan Raka berakhir.

-00-

Taman bersih, bangku tertata rapi dan lantai mengilap seperti bekas dipel. Rumahku terletak diujung komplek. Serba rapi menjadi ciri khasnya, tidak luput dari lampu redup dan besi karatan. Sepatu sport kuning hitam milik adikku berderet di rak bersama sandal Ibu.

Kamarku terletak di samping kamar Mulki, jadi aku sempatkan masuk ke kamar Mulki untuk ambil laptopku yang dipinjam. Mulki selalu pinjam laptopku untuk bermain game.

“Ki, aku ambil laptopnya, ya.”

“Habis ketemu Mas Raka, ya?”

“Iya, anak kecil enggak usah kepo. Aku ambil laptopnya, ya.”

“Pasti mau masukin foto Mas Raka, libur gini mana ada tugas,” celetuk Mulki.

“Anak ini. Punya mulut bisa diam enggak?”

“Enggak bisa kalau belum diisi mulutnya. Beli makan yuk!” Mulki berseru.

“Ibu enggak masak?” bisikku.

Lihat selengkapnya