AMERTA

amerta
Chapter #3

BAB 3

RAKA

Kelak aku akan melihat dunia

Yang mengungkungku lewat cara-caranya yang romantis.

Selain bekerja di kafenya Mas Juna setiap hari sabtu dan minggu, dikeseharian aku merangkum sebagai driver online. Aku tidak mau terlalu membebani keluarga Ibu perihal kebutuhan harian. Pun untuk menambah modal perjalanan yang jauh-jauh hari telah aku persiapkan bersama teman-teman.

Sekitar beberapa bulan lalu aku mencoba mencari pekerjaan lain dan akhirnya ojek online sepertinya pilihan tepat. Aku bisa bekerja selepas sekolah atau bekerja seharian saat libur di samping tugasku membawa Aru berkelana keliling Jogja. Aru tidak mengetahui pekerjaanku yang ini, tak jarang aku seperti menghilang tanpa kabar, tanpa memberi tahu Aru dahulu.

Saat aku lagi bersantai di kedai makan pinggir jalan, aku mendapatkan pesanan pertama hari ini.

“Sesuai aplikasi, ya, Dik,” sahut Si Bapak berkumis lebat ketika aku muncul di hadapannya.

Enaknya menjadi driver online aku bisa bertukar pikiran dengan para penumpang. Menambah wawasan, memahami sudut pandang baru, juga pengalaman hidup seseorang yang mengajarkanku banyak hal. Meski terkadang ada juga penumpang yang berlaku seenaknya. Si Bapak menceritakan sebuah kisah yang ia alami membuatku mengingat Ibu.

“Dulu saat saya muda,” katanya. Walaupun samar-samar terdengar karena deru sepeda motor, aku mencoba khusyuk mendengarkan cerita si Bapak. “Saya punya penyesalan besar.”

“Apa itu?” tanyaku sedikit berteriak.

“Dulunya saya senang bertualang. Saya yang lagi menikmati pantai tanpa sengaja mendengar percakapan Ibu dan anak. Kata si anak perempuan itu, ‘nanti, kalau aku besar dan punya uang sendiri, aku akan belikan Ibu sepasang sepatu.’ Saya yang mendengar tersentuh. Langsung melihat kaki si Ibu dan memang kaki Ibu itu kelihatan lusuh.”

Aku mulai larut dengan cerita Bapak itu. Memastikan jarak tujuannya, berharap cukup mendengarkan cerita yang membuatku penasaran sekaligus ikut tersentuh. 

Namanya Pak Arya, melanjutkan, “Mata Si Ibu berkaca-kaca, sambil terus tersenyum dia membelai rambut anak gadisnya. ‘Ibu, aku mau surga di telapak kakimu aman.’”

Hatiku bergetar dibuatnya. Betapa beruntungnya Si Ibu mendapatkan anak setulus itu. Tanpa disadari mataku ikut berlinang. Ibu adalah wanita paling berharga dalam hidupku. Sosok malaikat yang dikirim Tuhan untuk menjagaku dengan segala kelembutannya. Aku menyesal belum bisa menjadi anak yang dapat membanggakan bagi Ibu.

“Perlakukan Ibumu dengan baik. Jangan seperti saya yang dulunya nakal.” Pak Arya mengakhiri ceritanya. 

Tanpa terasa kami sampai pada alamat Pak Arya. Aku berhenti di depan rumah sedehana bercat putih yang dinaungi rerimbunan pepohonan di daerah Bantul. 

Sebelum berangkat aku sempatkan bertanya. “Bapak suka traveling?”

“Singgah dulu sebelum ada orderan, saya akan bagi cerita bagus.”

Aku menerima tawarannya. Motor tuaku terparkir di depan teras rumah yang bernuansa sejuk. Di ruang tamu terpampang foto keluarga Pak Arya bersama istri dan dua anak lelakinya. Pak Arya balik dari dapur membawakan segelas teh hangat. Memang, langit Jogja bulan Januari gemar menangis, suhunya mampu membuat gigil.

“Istri Bapak?”

“Setahun yang lalu meninggal karena serangan jantung.”

Menyesal bertanya demikian aku sedikit menunduk. “Maaf Pak,” kataku pelan.

“Enggak masalah. Anak saya yang kecil—bagi kami anak-anak tetaplah kecil meskipun sudah 20 tahunan,” ucap Pak Arya disela tawa. “Mengikuti jejak saya. Juga sifatnya sama seperti saya yang keras kepala dan nekat. Sekarang dia lagi mewujudkan salah satu mimpinya. Berkeliling Indonesia. Melanjutkan mimpi Bapak," katanya.

Pak Arya bercerita antusias. Bangga jelat terlihat jelas dari matanya yang kelabu. Begitulah orang tua, andai Ayah juga begitu. Cepat-cepat aku buang pikiran buruk. Aku terus bercerita tentang syukur, tetapi sendirinya tidak bersyukur. Dalam hati aku merutuki sifatku barusan.

Pak Arya melanjutkan. “Namanya Lawalata. Sebelum Lawa memilih jalan hidupnya, kami sempat cekcok hebat. Saya ingin dia kuliah, meniti masa depan yang jelas bukan seperti Bapaknya yang luntang-lantung begini. Tapi, ya, itu pilihan dia. Saya tidak mau memaksa keinginan yang bukan inginnya dia.”

Aku juga mengajukan cerita tentang niatanku dan teman-teman berkeliling Indonesia. Berawal dari rencana iseng bersama salah seorang teman dengan peretujuan setamat kami sekolah. Dari awal aku memang tidak niat kuliah. Di sekolah pun aku sering bolos dan berjalan-jalan ngawul-ngidul hingga Aru juga terbawa kebiasaanku. Untunglah otak kami encer, mengenai pelajaran tak jadi masalah. 

Pak Arya mampu merangkai perbincangan sederhana ini menjadi cerita menarik. Mulai menyambangi Pulau Jawa hingga sampai titik nol Indonesia, Pulau Weh. Namun, disayangkan petualangannya harus berakhir di Sumatera. Dia rindu rumah. Pulang.

Tujuan pergi adalah kepulangan.

Sebelum memutuskan pergi jauh tentukan arah pulangmu,

Kelak saat kau lelah, kau tahu melepas penat pada apa atau kepada siapa.

Menit berlalu. Langit mendung perlahan kembali cerah bersamaan orderan baru yang masuk ke ponselku. Aku pamit kepada Pak Arya. “Ajak teman-temanmu kemari. Saya akan membantu rute perjalanan kalian. InsyaAllah, saya akan menolong sedikit dari apa yang saya punya.”

Aku mengangguk seraya melempar senyum. “Terima kasih, Pak. Aku akan main-main lagi ke sini.” 

Tercetus di pikiranku untuk mengajak Aru berbincang dengan Pak Arya. Arunika suatu saat nanti juga akan bertualang, siapa tahu berguna untuk ke depannya dan mungkin Aru akan lebih betah melepas keluhnya kepada Pak Arya ketimbang dengan Ayah. Entahlah, aku tidak berniat berpikiran buruk. Semuanya untuk Aru juga.

-00-

Keinginan

Aku ingin mencintaimu dengan hal biasa,

Namun bagimu tampak istimewa

Aku ingin kata sayang dapat kau terima

Dari sepasang lengan yang enggan melepas ragamu  

Aku ingin ketiadaanmu melengkapi ketiadaanku

Aku ingin separuh yang semesta titipkan untukmu

Menyempurnakan separuh yang ada padaku

Di antara ingin

Kau keinginan paling aku semogakan di hadapan Tuhan

Kamu di mana-mana, Ru. Di derapan roda-roda motor, di sepanjang jalanan Jogja ditemani lampu temaram, di kepalaku, di barisan bait puisi, kamu objek yang merangkai diksi. Sebetulnya kamu diciptakan dari apa? Semacam candu, kamu merusak fokus.

Karena semesta menghadirkanmu

Pahamilah, kedua insan diperuntukkan ada

Untuk saling menyalingkan rasa

Suatu ketika, nantinya

-00-

Lihat selengkapnya