Amigdala

Haniffia Shafa Mahartanti
Chapter #1

Perempuan di Balik Jendela

Bau senyawa C6H6O tercium ke seluruh ruangan. Lelaki itu, sayup-sayup membuka matanya. Kepalanya terasa sangat berat dan sangat pusing. Ia terbaring di ruangan serba putih yang sangat terang. Lelaki itu melihat tangannya. Ia bingung, mengapa tangannya ditusuk dengan benda yang tak ia ketahui sebelumnya. Lelaki itu juga menengok ke arah kirinya. Lelaki seumurannya, sedang tertidur sambil mendengkur di sebuah kursi panjang. Pakaian lelaki itu sangat aneh. Benar-benar aneh. Ia tak pernah melihat pakaian yang dikenakan sebelumnya. Ia semakin bingung dengan situasi ini. Apalagi, di samping kanannya terdapat sebuah kotak berbunyi sesuai ritme detang jantungnya. Ini benar-benar tak bisa diterima oleh akal sehatnya.

“Bukankah, aku sudah mati? Mengapa aku bisa kemari?” pikir lelaki itu sambil menatap langit-langit ruangan.

Seingatnya, terakhir kali, ia sedang berada di jenggala yang amat luas. Hanya pohon rindang dan burung-burung yang menemaninya. Ia tak tahu mengapa ia bisa berada di sana. Memori lelaki itu, hanya teringat dengan janjinya kepada seorang perempuan untuk bertemu dengannya di pantai pada sore hari. Selebihnya, ia benar-benar tak tahu. Hidup panjang di jenggala itu, membuatnya berpikir bahwa ia sudah mati. Namun, saat ia bertemu dengan laki-laki yang sedang mengadu tentang segala kehidupannya yang sangat konyol di jenggala waktu itu, membuat lelaki itu tiba-tiba saja terbaring di sini.

***

Batavia, 1930. Sebutan untuk kota pusat perdagangan, pemerintahan, politik, ekonomi, kemasyarakatan, kebudayaan, dan kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Penyebutan tersebut selama tiga setengah abad, sejak didirikan Jan Pieterzoon Coen tahun 1619 hingga 10 Desember 1942. Nama ini dipilih untuk mengenang suku bangsa Germania yang disebut oleh C. J. Caesar dalam bukunya Bellum Gallicum (50 SM) - yaitu Batavir.  Nama Batavia baru disahkan pada tahun 1620. Pada tahun 1930-an Batavia berkembang menjadi suatu kota kolonial modern.

Pemuda berkulit sawo matang berambut ikal, yang tengah duduk memandang langit itu adalah Bagoes. Seorang anak muda yang berusia kira-kira 21 tahun. Ia adalah anak seorang pembantu di kediaman Sutomo. Semenjak Sutomo meninggal dunia, Sri berganti bekerja untuk anak dari Sutomo, yakni Darmakusuma. Tentang Darmakusuma, tak ada yang tahu pasti tentang asal-usulnya. Menurut cerita yang beredar, sebenarnya Darmakusuma bukanlah anak kandung dari Sutomo. Darmakusuma adalah anak dari seorang bandit kelas kakap yang tinggal di Ommeladen. Tidak ada yang tahu siapa nama bandit itu. Tak hanya merampok, lelaki yang disebut sebagai Ayah kandung dari Darmakusuma ini juga terkenal membunuh orang. Terkadang, jika ia gagal dalam merampok, Darmakusuma lah yang jadi sasarannya. Ia dipukuli hingga lebam. Akhir dari cerita bandit itu adalah saat ia memperkosa seorang wanita dan dibunuh. Ia pun ditangkap dan divonis hukuman mati. Darmakusuma menjadi hidup sebatang kara, tak ada yang tahu tentang keberadaan Ibunya. Pertemuan Darmakusuma dan Sutomo terjadi saat Darmakusuma kecil dengan luka lebam di wajahnya ditemukan duduk di samping gudang penyimpan hasil perkebunan. Iba dengan Darmakusuma kecil, Sutomo memutuskan untuk merawat dan membesarkan Darmakusuma. Cerita lain yang beredar, Sutomo dan Istrinya mengangkat seorang anak dari pelacur perempuan yang juga diyakini banyak orang adalah Darmakusuma. Saat itu dikatakan bahwa Istri Sutomo mandul. Alasan mereka mengangkat anak lelaki dari seorang pelacur perempuan untuk menjadi pancingan agar Istri Sutomo segara hamil karena perempuan yang mandul dianggap menjadi aib keluarga. Dari cerita tersebut, semua hanyalah katanya-katanya saja. Hingga saat ini, tak ada yang tahu pasti kebenarannya.

Di balik banyaknya cerita yang beredar, Darmakusuma tumbuh menjadi seorang lelaki mandiri dan cerdas. Bisa dikatakan, ia adalah seorang pengusaha sukses. Toko milik Darmakusuma mampu bersaing di tengah persaingan bisnis yang sangat tinggi saat ini. Selain itu, setelah kematian Ayahnya, Sutomo, semua harta Sutomo diwariskan kepada Darmakusuma. Tak hanya itu, Sutomo juga mewariskan peternakan kerbau kepada Darmakusuma dan dimanfaatkan olehnya sebagai rumah jagal.

Setelah Ayah Bagoes meninggal, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan setelah tamat dari Sekolah Lanjutan (Vervolgschool)1. Bagoes adalah salah satu murid berprestasi. Namun, ia harus menggantikan pekerjaan Ayahnya sebagai salah satu pekerja di rumah Darmakusuma. Bagoes sudah bekerja di rumah Darmakusuma kurang lebih dua tahun. Ayahnya, Kasman adalah orang yang sangat cekatan dan rajin. Kinerjanya juga sangat dihargai lebih oleh Darmakusuma. Ketika Bagoes untuk pertama kalinya bekerja di sana, ia harus beradaptasi dengan segala hiruk pikuk kehidupan di rumah Darmakusuma. Setiap Pagi, Bagoes harus mengurusi kebun, memberi makan kerbau-kerbau milik Darmakusuma, paling sedikit setiap tiga hari sekali ia juga harus membersihkan kandangnya sampai bersih. Pernah suatu hari, salah satu pekerja di kandang lupa mengikat kerbau. Akibatnya, kerbau itu terlepas. Darmakusuma menegetahui hal itu. Esok harinya, semua pekerja di kandang di panggil olehnya, termasuk Bagoes. Salah satu pekerja pun mengakui kesalahannya. Segera, Darmakusuma mengeluarkannya. Semenjak kejadian itu, Bagoes lebih berhati-hati dalam bekerja. Ia tak mau jika nasibnya akan sama dengan pekerja itu.

Setelah lelah membersihkan kandang dan memandikan para kerbau yang siap dijual untuk besok Pagi, Bagoes pun beristirahat untuk sejenak. Bagoes bersila sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Tak lama setelah itu, Darmakusuma mengampiri dirinya.

“Semua kandang sudah kau bersihkan?” Daramakusuma menyapu pandangannya ke arah seluruh kandang sambil menyesap lintingan rokok kretek.

“Sudah tuan,” jawab Bagoes membungkukkan badan.

Darmakusuma menunjuk tangannya, “Kerbau-kerbau yang siap dijual esok, sudah kau persiapkan juga kan?”

“Sudah tuan, semua sudah saya persiapkan. Mungkin, ada hal lain tuan yang harus saya kerjakan?” tanya Bagoes yang masih membungkukkan badannya.

Kumpulan asap rokok kretek milik Darmakusuma menghambur ke udara, “Tak ada. Hari ini kau istirahat saja.”

Darmakusuma pergi meninggalkan Bagoes. Baru saja berjalan selangkah dua langkah, ia berbalik lagi menghampiri Bagoes dan mengatakan, “Kau bukankah anak dari Kasman dan juga Sri?”

Raut wajah Bagoes sedikit kaget, ia pikir tuannya selama ini tahu.

“Betul tuan,” jawab Bagoes.

Darmakusuma hanya mengangguk, “Sangat disayangkan sekali aku harus kehilangan Kasman. Ia adalah pekerja paling terampil di sini. Kuharap kau juga sama terampilnya.”

Darmakusuma benar-benar pergi meninggalkan Bagoes. Masih menyesap rokoknya. Namun, yang berbeda ia sedikit bersenandung tadi.

Malam sepi diselimuti hujan deras, Bagoes duduk melamun di depan rumahnya sambil memandangi tetes hujan yang turun.

“Kamu mengapa Goes, malam-malam begini melamun,” tegur Ibunya, Sri, yang datang dari dalam rumah.

Bagoes sedikit membenahi posisi duduknya menjadi lebih tegak, “Tidak papa Bu. Aku hanya merasa, setelah Ayah meninggal 3 tahun lalu, hidup ini menjadi berbeda.”

Sri menggenggam tangan Bagoes, “Goes, waktu itu Ayah pernah cerita sama Ibu. Ayah bersi keras menyekolahkanmu dahulu karena Ayah tak ingin kamu bernasib sama, seperti Ayah dan juga Ibumu. Yah, tetapi nasib berkata lain. Ayah harus meninggal secepat ini. Andai saja, Ayahmu masih ada di sini. Kamu tak perlu bersusah payah bekerja di rumah Tuan Darmakusuma.”

“Buk, alasan Bagoes bekerja menggantikan Ayah, Bagoes tidak ingin memberatkan Ibu. Ibu tidak usah khawatir. Bagoes bisa mengurus semua pekerjaan Bagoes,” jawab Bagoes.

Sri berusaha menahan tangisnya, “Ya sudah Goes kalau begitu. Sana ke dalam, segera tidur!”

Bagoes mengangguk. Ia mengusap punggung Ibunya, “Iya Bu. Bagoes tidur dulu ya Bu.”

Dalam riuhnya hujan malam ini, Bagoes terus memikirkan percakapan dengan Ibunya. Muncul pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dipikirkan olehnya. Jika Ayah masih hidup di dunia ini, akankah hidupnya akan berbeda atau sama saja? Ia takkan pernah tahu jawabannya.

***

Hari ini semua pekerja Darmakusuma tampak sibuk. Dari Ibunya wara-wiri menggotong sebuah keranjang buah, Nini sibuk menatap meja hingga membersihkan setiap lantai dengan hati-hati, dan juga Bagoes yang harus memotong rumput pekarangan yang sebelumnya sudah dipotong itu. Bagoes terheran. Memangnya siapa yang akan berkunjung ke rumah Tuan Darmakusuma.

“Goes, kamu setelah ini ndak ada kerjaan, to? Nanti, setelah potong rumput ikut aku ke pasar,” tegur Bono. Ia adalah salah satu pekerja di rumah Darmakusuma.

Bagoes mengiyakan perkataan Bono. Selesai memotong rumput, Bagoes segera mencari Bono. Mereka pun bergegas untuk ke pasar. Lebih tepatnya, ke toko milik Darmakusuma.

“Kenapa harus terburu-buru. Toh, kita tidak ada urusan mendesak,” ucap Bagoes berjalan dengan langkah cepat.

Bono berjalan dengan napas terengah-engah, “Kain dan beberapa kebaya yang dipesan hari ini akan dikirim. Tuan Darmakusuma mengutus kau dan aku untuk mengamankan barang. Beberapa hari terakhir, para bandit itu suka sekali mencuri di pasar. Mereka tidak segan-segan menjual hasil rampasannya agar mendapatkan uang. Tuan Darmakusuma tidak bisa menangani hal ini karena ia harus bertemu beberapa tamu.”

“Jadi, kita akan melawan para bandit itu? Memangnya di sana tidak ada orang lain selain kita?” tanya Bagoes.

Bono menghentikan langkahnya, “Yongalah. Kowe ki rasah kakean takon. Sudah manut aku saja. Pusing aku sedari tadi harus menjawab pertanyaanmu.”

Bono dan Bagoes pun semakin berjalan cepat. Terkadang, sesekali mereka berlari. Sampailah mereka di toko milik Darmakusuma. Keberuntungan masih berpihak kepada mereka. Mereka berhasil menyelamatkan kain dan beberapa kebaya yang dipesan. Sebelum para bandit itu datang.

Bono merangkul pundak Bagoes, “Perjalanan kita ndak sia-sia Goes. Aku yakin kita pasti dapat gaji tambahan dari Tuan Darmakusuma.”

Bagoes menampar pipi Bono, “Ngimpi kamu, No! Jangan ngawur!”

“Kalau benar bagaimana?” balas Bono senyum-senyum.

Lihat selengkapnya