Amigdala

Haniffia Shafa Mahartanti
Chapter #3

Menu Makan Siang

Perempuan itu hanya mondar-mandir di kamarnya. Sesekali ia menengok keluar kamarnya untuk memastikan bahwa tamu yang datang hari ini. Melihat kegelisahan itu, Sri menghampirinya.

“Nona kenapa? Kok terlihat gelisah seperti itu?” Sri bertanya dengan suara cukup lirih.

Anjani sedikit tersentak dengan kedatangan Sri dihadapannya, “Ah! Simbok! Aku pikir siapa. Tidak, Mbok. Aku hanya sedikit khawatir ketika nanti bertemu calon tunanganku.”

Sri mengerti maksud Anjani, “Oh, rupanya begitu. Nona tidak usah malu. Simbok yakin, pasti lelaki yang akan dijodohkan dengan nona, juga baik seperti Nona Anjani.”

Anjani hanya bisa terseyum kecut, “Semoga saja ya, Mbok!”

Sri berjalan kembali. Anjani menatap Sri yang semakin lama menjauh. Anjani masih memikirkan bagaimana agar ia tak bertemu dengan tamu itu. Anjani pun duduk di kasurnya, mencoba berpikir. Ia sesekali menatap keluar jendela. Tiba-tiba terlintas dipikiran Anjani untuk sedikit bermain-main. Anjani pun mengendap-endap keluar. Ia akan kabur hari ini.

Anjani berhasil keluar rumah. Sekarang, ia dihadapkan dengan keadaan sulit. Ada banyak sekali pekerja yang wara-wiri. Mengapa hari ini sangat sibuk? Pikirnya saat itu. Ia sedikit berlari kecil ke arah pintu belakang. Namun, tiba-tiba saja Bono bertanya kepadanya. Anjani merasa Bono bisa diajak bekerja sama. Namun, sayangnya ia tak mau. Bono sangat tak berani macam-macam dengan Ayahnya. Akhirnya, ia memerintahkan Bono untuk mengawasi yang lain agar semua orang tak curiga dengan kepergiannya.

Darmakusuma sedari tadi hanya duduk santai di ruang tamu sambil menyesap sebatang rokok seperti biasanya. Tak lama setelahnya, tibalah tamu yang dinanti-nanti Darmakusuma. Keluarga Santosa. Ia datang bersama istri, serta anak laki-laki semata wayangnya. Darmakusuma mempersilahkan mereka duduk. Darmakusuma menanyakan bagaimana kabarnya, menanyakan bagaiman bisnisnya, dan berbagai pembicaraan awal lainnya. Sri datang membawa jamuan untuk Santosa beserta keluarganya.

Darmakusuma mematikan rokok di tangannya. Ia mengambil secangkir gelas di hadapannya, “Bagaimana tentang kerja sama kita? Kau tentu sudah memikirkannya, bukan?”

Santosa pun tersenyum, “Aku sih setuju saja. Asalkan anakmu itu mau dijodohkan dengan putraku ini, semua bisa diatur.”

“Masalah itu, putriku sedikit keras kepala. Kau tahu sendiri bagaimana ia bertemu denganmu.” Darmakusuma menyesap teh yang disugguhkan.

Santosa sedikit mengerti, “Ya, aku mengerti. Putrimu itu adalah wanita terpelajar. Mahasiswa GHS6. Wajar jika ia tak pernah memikirkan lelaki.”

Darmakusuma menyilangkan kakinya, “Anjani dibesarkan hanya olehku seorang. Ibunya meninggal ketika melahirkan Anjani. Ia kudidik agar tak terlalu manja. Sebagai seorang perempuan ia juga harus mandiri. Ngomong-ngomong, putramu ini melanjutkan pendidikan atau bekerja?”

“Arya ini adalah lulusan HBS7. Arya berada di sekolah yang sama dengan Anjani. Berbeda dengan Anjani sekarang. Ia lebih memilih untuk membantu bisnis keluarga. Arya juga bergabung di klub sepak bola di Batavia,” jelas Istri Santosa sambil melihat dengan pandangan sumringah ke arah putranya, Arya.

Darmakusuma mengangguk paham. Santosa kembali membuka percakapannya kembali, “Sudah jelas. Arya dan Anjani itu sangat cocok. Kuharap Anjani mau untuk segera melangsungkan pernikahan, juga kerja sama bisnis kita akan segera berlangsung.”

Mendengar itu, Darmakusuma sedikit mempertimbangkannya. Ia memberitahu kepada Santosa untuk menemui Anjani. Darmakusuma pun memerintahkan salah satu pekerja untuk memanggil Anjani agar segera ke ruang tamu. Namun, pekerja itu mengatakan jika Anjani tidak ada di rumah. Darmakusuma tersentak, tetapi ia berusaha menyembunyikannya.

“Maaf sekali. Aku teringat bahwa Anjani mengambil praktikum jadi ia tak ada di rumah hari ini.” Darmakusuma sedikit beralibi agar kepergian Anjani yang tak diketahui olehnya tak terlihat di depan Keluarga Santosa.

Santosa juga keluarganya pun mengerti. Mereka pun kembali mengobrol tentang kerja sama bisnis yang sudah dibicarakan sebelumnya. Terkadang, Darmakusuma sedikit bertanya kepada Arya. Dari kacamata Darmakusuma, sosok Arya, selain tampan, ia juga pintar. Obrolan mereka sangat nyambung dari segi hal apapun. Apalagi, obrolan tentang sepak bola.

Sementara itu, Anjani masih saja marah-marah sebab kedatangan Keluarga Santoso. Sepanjang jalan, ia terus mengomel. Ia masih tak terima tentang perjodohannya. Beberapa hari lalu, Santosa datang sendiri di rumahnya. Obrolannya, hanya membahas tentang anaknya saja. Hal itu membuat Anjani semakin malas. Apalagi, hari ini ia datang bersama Istri dan juga anaknya itu.

Ia berjalan ke arah pasar. Ia akan mengunjungi toko milik Ayahnya dan mencari sesuatu di sana. Saat Anjani tiba di sana, toko lumayan ramai hari ini. Anjani menyapu seluruh pandangannya, Anjani melihat sebuah sepeda disandarkan di depan toko Ayahnya. Anjani melirik ke arah kanan dan kiri. Segera, ia mengambil sepeda itu dan melaju kencang menuju ke sekolah tingginya, di GHS. Padahal, ia tak ada kelas untuk hari ini. Anjani hanya melarikan diri saja. Bersepeda dari daerah Pasar Senen menuju Weltevreden lumayan menghabiskan tenaganya.

Anjani memakirkan sepedanya. Ia berjalan menyusuri lorong sekolah tingginya itu. Anjani kemudian masuk ke ruang perpustakaan. Ia hanya asal mencari sebuah buku bacaan yang bisa ia baca. Ia duduk di salah satu bangku. Hari ini perpustakaan cukup ramai. Para mahasiswa dengan serius belajar sebab sebentar lagi ujian tahap 2 atau mereka biasa menyebutnya dengan 2e deel candidaatsexamen(CII). Perpustakaan sangat hening. Hanya Anjani yang tampak grusak-grusuk. Tak lama setelahnya, dua orang temannya menghampiri dirinya. Li-Jun dan Ayu.

Li-Jun sedikit menggoda Anjani, “Wah! Si nona muda ini rupanya cukup berambisi dalam ujian kali ini.”

Anjani menatap sinis Li-Jun. Ayu hanya tertawa melihat mereka. Jika Anjani sudah bertemu Li-Jun, mereka sudah seperti anjing dan kucing. Li-Jun selalu menggoda Anjani dan respon Anjani selalu marah.

Ayu pu membuka percakapan, “Kamu sendiri memangnya sudah belajar, Li-jun?”

Li-Jun tertawa kecil, “Hanya beberapa saja, sih. Belum semua. Beberapa hari lalu, Engkong sakit. Papa dan Mama sibuk merawat Engkong di rumah sakit. Jadi, Mama menyuruhku untuk di rumah dan membantu di toko.”

Rumah Li-Jun terletak di kawasan Pecinan, Pasar Glodok. Konsep rumah yang dimilikinya adalah menyatu dengan toko. Jadi, di lantai pertama adalah toko milik Engkong Li-Jun dan di lantai kedua adalah rumahnya. Berbeda dengan toko yang dimiliki Darmakusuma.

Anjani dan Ayu mengerti perkataan Li-Jun. Li-Jun pun iseng bertanya kepada Anjani, “Kemarin, aku dengar berita bahwa kamu serius dijodohkan dengan Arya, anak juragan kulit itu?”

Anjani membulatkan matanya ke arah Li-Jun, “Bagaimana kau bisa tahu? Bukannya aku tak pernah cerita padamu?”

Semua orang yang berada di perpustakaan menatap Anjani. Anjani mengatakannya cukup kencang dan mereka merasa terganggu. Anjani pun mengajak Li-Jun dan Ayu untuk keluar dari ruang perpustakaan agar tak mengganggu yang lain.

Sambil berjalan, Ayu menanyakan kepada Anjani perihal perjodohannya, “Arya? Arya yang dikeluarkan dari HBS?”

Anjani memutar bola matanya dan menghela napas panjang, “Iya. Dia orangnya.”

Ayu pun ternganga mendengar jawaban dari Anjani, “Ah! Aku ingat! Ia waktu itu selalu mendapatkan nilai 0 dalam pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam.”

Anjani kesal ketika seseorang menyebutkan namanya. Li-Jun melihat Anjani yang sedang bersungut-sungut. Ia menyenggol lengan Anjani dan mengatakan, “Kok bisa? Tiba-tiba kamu dijodohkan dengan sosok seperti Arya? Aku kalau jadi Arya, aku yang gak mau sama kamu. Bukannya kebalik.”

Ayu mencubit lengan Li-Jun agar ia tak menggoda Anjani. Anjani tak menghiraukan perkataan Li-Jun.

Mereka pun duduk bersila di tengah rindangnya pohon. Anjani masih sama. Ia masih kesal tentang semua yang terjadi.

“Ini pertanyaan serius. Memangnya ada urusan apa? Sampai-sampai kamu dijodohkan dengan si Arya itu?” Li-Jun tampak bingung.

Anjani menatap Li-Jun dan menjelaskan, “Waktu itu, Ayahku menawarkan kerja sama kepada Tuan Santosa untuk memanfaatkan kulit hewan di rumah penjagalan milik Ayahku. Saat itu, Tuan Santosa setuju. Namun, ia memberi syarat bahwa untuk bekerja sama, aku harus dijodohkan dengan Arya. Seperti yang kalian lihat, Ayahku setuju dengan hal itu.”

“Kukira syarat kerja sama seperti itu di tahun seperti ini tidak ada lagi.” Ayu merasa kasihan terhadap Anjani. Begitu juga Li-Jun.

Untuk kali ini, Li-Jun sedikit serius, “Memangnya kamu tak protes kepada Ayahmu?”

Anjani menggeleng. Sebenarnya, ia sudah tahu. Jika ia melawan hasilnya akan sama saja. Ayahnya tetap memutuskan untuk menjodohkannya.

“Memangnya, kamu tahu dari mana jika aku akan dijodohkan dengan Arya?” tanya Anjani pada Li-Jun.

Lihat selengkapnya