Amigdala

Haniffia Shafa Mahartanti
Chapter #4

Pengakuan

Sudah empat hari tahun 1931 berjalan. Ujian tahap dua telah usai. Anjani dinyatakan lulus dengan nilai baik. Anjani dapat melanjutkan 2 tahun belajarnya di GHS. Anjani memutuskan tak mengambil kelas untuk hari ini. Jadi, ia hanya belajar santai di rumah.

Darmakusuma menengok dari balik pintu kamar Anjani, “Hari ini kau tak pergi?”

Anjani menggeleng menatap Darmakusuma. Darmakusuma pun menghapiri Anjani, “Hari ini kau ke toko mengawasi para pekerja. Ayah ada urusan dengan Santosa.”

Anjani memanyunkan bibirnya, “Ya, nanti aku ke toko, tetapi setelah aku mempelajari semua ini.”

Anjani menunjukkan buku yang sedang ia pelajari. Darmakusuma pun hanya mengiyakan perkataan putrinya itu. Ia mengerti bahwa putrinya itu sangat terobsesi dengan belajar.

Bagoes dan Bono pun bertemu di persimpangan jalan. Mereka pun berjalan bersama menuju toko. Kali ini, pasar tak seramai biasanya. Ledakan depresi ekonomi sejak tahun 1930, semakin lama, malah semakin tak terbendung. Di sisi jalan, banyak bumiputra lontang-lantung. Mereka merupakan golongan yang diutamakan dalam pemecatan. Beruntungnya, Darmakusuma tak memecat sebagian para pegawai. Ia hanya memotong gaji para pekerja untuk menghemat pengeluaran di tengah ekonomi yang sulit ini.

Bagoes dan Bono pun segera membuka toko yang masih tertutup itu. Para pekerja sudah menunggu mereka di depan toko. Mereka pun menyalakan lampu dan membersihkan toko.

“Tampaknya, toko akan sepi seperti kemarin,” celetuk salah satu pekerja.

Bono menanggapinya dengan sedikit candaan, “Kata siapa? Memangnya kamu dukun? Bisa tahu semuanya.”

Dua hari kemarin, toko memang sangat sepi. Bahkan, tak ada pengunjung. Berbeda dengan sebelumnya. Ya, meski hanya hari-hari tertentu saja toko ramai. Setidaknya, para pekerja tak perlu memusingkan perihal gaji mereka.

“Ledakan depresi ekonomi pengaruhnya sangat besar. Pengangguran bertambah banyak, para pekerja potong gaji—” pekerja itu memotong kalimatnya. Di depan toko, tiba-tiba saja terdapat kerusuhan. Saat di tengok, mereka ramai-ramai mengejar seorang pemuda.

Bagoes memberhentikan salah satu yang turut mengejar pemuda itu, “Ada apa ini sebenarnya?”

Dengan napas tesengal-sengal, orang itu menjawab, “Dia mencuri di toko kelontong ujung sana. Daripada kamu diam saja di sini. Lebih baik, kamu ikut aku mengejarnya.”

Tanpa aba-aba, tangan Bagoes dicekal oleh orang itu. Ia mengajak Bagoes untuk membantu menangkap pemuda itu. Tak lama setelah itu, Anjani datang ke toko. Ia tampak bingung ketika ia datang, pasar tiba-tiba ricuh.

           Anjani menghampiri Bono, “Mengapa mereka berlarian seperti itu?”

“Seorang pemuda mencuri di sebuah toko kelontong.” Bono membalas pertanyaan Anjani sambil menunjuk toko yang dimaksud.

Bono menetap Anjani heran. Tidak seperti biasanya Anjani datang ke toko.

Bono memberanikan diri untuk bertanya, “Apa tidak ada kelas untuk hari ini, nona? Tidak seperti biasanya, nona bisa menyempatkan waktu untuk datang kemari.”

Anjani menggeleng dan ia segera masuk ke toko. Ia duduk dan meletakkan tasnya. Ia bertanya kepada seorang pekerja yang berada di sampingnya, “Bagaimana toko kemarin?”

Pekerja itu menjawab Anjani sambil menundukkan kepalanya, “Masih sepi, nona.”

Anjani memijat pelan pelipisnya, “Jika kita hanya berdiam diri. Bisa-bisa bangkrut.”

Anjani kemudian mengecek seluruh kain di toko. Untungnya, kain premium yang di impor masih tersisa banyak. Jadi, Anjani tak perlu bersusah payah untuk mengimpornya, apalagi harga impor di tengah ledakan krisis ekonomi sedang naik-naiknya. Anjani kembali di tempat duduknya. Ia mulai mengeluarkan sebuah kertas dan pensil dari tasnya. Ia mulai mencoret-coret kertas tersebut. Para pekerja pun melihat apa yang dikerjakan Anjani. Setelah selesai, ia menunjukkannya kepada semua pekerja di sana.

Mata para pekerja itu tebelalak. Bukan karena gambar yang dihasilkan Anjani bagus. Justru, sebaliknya.

"Bagaimana tentang gambar itu? Jika kita bisa membuat baju popular untuk kalangan orang-orang Eropa, aku rasa toko ini tidak akan gulung tikar.” Anjani memamerkannya dengan bangga.

Salah satu pekerja perempuan mengangkat tangannya, “Maaf, nona. Bukannya saya lancang, tetapi gambar yang diberikan nona tidak terlihat seperti rancangan busana sama sekali.”

Anjani merebut kertasnya. Ia kembali melihat gambaran di kertasnya. Benar yang dikatakan pekerja perempuan itu. Gambar yang dibuat Anjani sangat jelek.

Anjani menanyakan kepada mereka, apakah salah satu dari mereka ada yang bisa menggambar. Walaupun tidak bagus, setidaknya mereka mempunyai gambaran untuk membuat baju tersebut.

Seseorang membuka pintu toko. Salah satu pekerja kemudian mengatakan, “Kurasa orang yang baru saja datang bisa menggambar!”

Anjani menengok ke belakang. Ia mematung ketika melihat Bagoes tepat berada di depannya. Begitu juga dengan Bagoes. Ia terdiam cukup lama. Tiba-tiba saja, atsmosfer toko berubah. Mereka bertatapan cukup lama. Anjani masih tak menyangka jika ia akan bertemu dengan laki-laki yang ia temui saat perayaan malam tahun baru.

“Dia orangnya!” Itu kalimat yang terlintas ketika Anjani melihat Bagoes.

Dada Bagoes berdegup sangat kencang. Bagoes masih tak menyangka jika ia akan bertemu dengan Nona Anjani sedekat ini. Bono menghampiri Bagoes untuk segera menyadarkannya.

“Goes, memangnya kamu bisa menggambar?” tanya Bono memastikan.

Bagoes masih tak bisa berkata-kata. Pikirannya tiba-tiba runyam setelah bertemu Anjani. Bono pun memukul pelan lengan Bagoes, “Jawab, Goes! Kok malah diam saja?”

Akhirnya, Bagoes tersadar. Ia bisa menanggapi pertanyaan Bono, “Ah! Itu!”

Bagoes menatap Bono dengan gugup. Ia mengusap-usap pahanya. Bagoes sangat gugup kali ini, “Aku tidak yakin dengan itu. Namun, akan kucoba.”

Anjani pun memberikan sebuah kertas dan pensil kepada Bagoes. Bagoes duduk di meja yang biasa ia tempati. Bagoes menghela napas panjang sebelum memulai. Sebenarnya, ia tak pandai menggambar. Bagoes bisa menggambar karena pernah mendapatkan pelajaran itu ketika ia dahulu bersekolah di Vervolgschool. Terkadang, jika ada waktu luang, ia hanya iseng menggambar asal meski hasilnya tak terlalu bagus.

Bagoes selesai meniru gambaran milik Anjani. Ia menunjukkannya kepada semua orang di toko. Mereka terpana dengan gambaran Bagoes yang ternyata jauh lebih apik dari yang mereka bayangkan. Semua mata menatap ke arah Bagoes berdiri. Mereka pun bertepuk tangan dan takjub dengannya.

Anjani pun memberitahukan kepada seluruh pekerjanya, “Mulai besok, kita akan membawa sebuah perubahan. Lelaki ini yang akan membantu kita dalam membuat karya pertama yang kita buat sendiri.”

Lihat selengkapnya