Amigdala

Haniffia Shafa Mahartanti
Chapter #7

Berputih Tulang Binasa

Bono pun berjalan menuju rumah Darmakusuma. Semua rencananya sudah sangat tersusun rapi. Ia selalu berharap bahwa rencannya akan berhasil. Bono berpakaian seperti biasa, tak neko-neko agar ia tak dicurigai oleh para centeng Darmakusuma yang lalu lalang di rumahnya. Sudah lama sejak ia mengatakan perihal Mukti pada Bagoes, Bono sering kali datang ke rumah Darmakusuma hanya untuk mengamati. Ia memang sudah tak bekerja di rumah itu lagi. Namun, ia tak pernah pamit kepada Darmakusuma, jadi, tuannya tak pernah tahu. Toh, banyak pekerja di rumah itu. Bono juga mengamati pergerakan tuannya, yang ia tahu Darmakusuma juga jarang mencarinya.

Bono masuk ke rumah Darmakusuma seperti biasa saat ia bekerja di sana. Terkadang, ia melihat ke kanan-kirinya agar tak ada yang mencurigai gelagatnya. Bono pun berhenti tepat di depan jendela Anjani. Bono melihat Anjani yang sedang duduk di ranjangnya. Wajahnya tampak murung. Bono menduga, ini pasti ada hubungannya dengan Bagoes. Bono pun mendekati kamar Anjani. Ia memanggilnya. Anjani tampak senang ketika Bono datang.

“Bono! Sudah lama sekali aku tak melihatmu! Kamu kali ini harus bantu aku keluar dari sini, ya.” Anjani memohon kepada Bono. Ini kesempatan emas untuk membawa Anjani jauh-jauh dari rumahnya.

Bono hanya mengangguk. Ia kemudian melihat ke arah pintu belakang. Tampaknya, Darmakusuma lupa menjaga pintu belakang. Bono pun mengajak Anjani untuk lompat dari jendelanya dan mengikuti Bono. Mereka berjalan mengendap-endap menuju pintu belakang. Perhitungannya benar, tak ada siapa pun di sana.

“Bodoh sekali. Bisa-bisanya, ia tak menjaga pintu belakang juga,” batin Bono.

Segera, mereka keluar dari rumah Darmakusuma. Bono tak punya bayangan akan dibawa ke mana Anjani ini. Namun, Bono berpikir akan membawa Anjani ke luar Batavia agar Darmakusuma pontang-panting kebingungan dalam mencari putri semata wayangnya. Bono dan Anjani berangkat menaiki tram menuju Stasiun Batavia.

Dalam tram, Anjani bertanya kepada Bono, “Memangnya, kita mau ke mana? Bukannya rumah Bagoes hanya cukup berjalan saja? Mengapa harus sampai menaiki tram?”

Bono tak menjawab pertanyaan Anjani. Tram melaju dengan cukup kencang. Bono melihat Anjani, wajahnya tampak sangat khawatir. Bono mengacuhkannya. Ia benar-benar tak peduli dengan Anjani jika tiba-tiba saja iamerengek minta pulang. Di benak Bono, yang terpenting ia bisa membawa Anjani pergi dan rencananya berjalan sangat lancar.

Semenjak Bagoes bekerja dengan juragan Tionghoanya, ia sudah tak pulang sekitar tiga hari. Kemarin, Bagoes pulang hanya sekadar memberi uang Ibunya. Setiap malam, Bagoes tidur di pinggiran toko juragannya untuk menghemat uangnya. Ongkos untuk menaiki tram sangat lumayan jika ia memutuskan untuk pulang-pergi.

Bagoes berjalan menuju toko kelontong milik juragannya, setelah ia membeli makan siang, jauh dari toko juragannya. Ia berhenti di seberang jalan, menunggu jalan sedikit lenggap agar ia bisa menyebrang. Tram juga berhenti di depannya membuat Bagoes semakin lama menyebrang. Bagoes yang dikejar waktu, memutuskan untuk berjalan mencari jalan yang sedikit lenggang. Bono dan Anjani turun dari tram. Bono menyapu pandangannya dengan tatapan was-was, tetapi Bagoes mengetahui keberadaan mereka. Bagoes pun mengejar mereka dan tindakannya disadari oleh Bono. Bono pun berlari dan menggandeng tangan Anjani agar mengikutinya. Kumpulan orang yang lalu lalang turun dan naik ke tram, membuat pandangan Bagoes sedikit terhalang. Bagoes bersi keras untuk menyelamatkan Anjani. Bagoes tahu ini hal yang konyol lagi, setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, sekali lagi, ia sudah berjanji jika ia akan melindung Anjani sampai kapan pun. Bagoes masih saja berlari sambil mendesak orang-orang di tengah kerumunan. Bono dan Anjani berlari melesat cukup jauh. Ia sesekali menengok ke arah belakang untuk melihat pergerakan Bagoes. Bono dan Anjani menyebrang ke pinggir jalan, meninggalkan Bagoes yang masih berusaha melewati kerumunan.

Bagos masih mengunci pandangannya kepada mereka. Bagoes semakin berlari mengejar mereka. Larinya sangat cepat, Bagoes tak mau hal yang telah direncanakan Bono akan terjadi. Bagoes akan memberi tahu Bono apa yang terjadi sebenarnya kepada Mukti. Meski Bagoes tahu jika Darmakusuma memang tak peduli dengan Mukti, tetapi perihal kematian Mukti, Darmakusuma tak ada sangkut pautnya. Bagoes berhenti sejenak. Bono dan Anjani semakin jauh. Bagoes merasa tak bisa mengejar mereka. Bagoes kehabisan napas, ia sangat kelelahan. Bagoes pun sedikit memutar otaknya. Ia harus memikirkan caranya agar ia bisa mengejar mereka lebih cepat. Mata Bagoes pun tertuju dengan sebuah sepeda yang bersandar di bawah pohon. Segera, ia langsung memakai sepeda tersebut. Bagoes memang tak mempunyai sebuah sepeda, tetapi Kasman pernah mengajarinya sekali. Bagoes segera mengejar Bono dan Anjani yang sudah sangat jauh.

“Hei! Mau dibawa ke mana sepedaku!” Pemilik sepeda itu teriak geger karena sepedanya tiba-tiba saja diambil.

Bagoes menengok dan membalas ucapan pemilik sepeda tersebut, “Pinjam sebentar!”

Bagoes memang tak pernah kehabisan akal. Ia mengayuh sepedanya sangat cepat, peluh keringat di wajahnya bercucuran. Bagoes semakin dekat dengan Bono dan Anjani, mereka tak berlari secepat saat Bono melihat Bagoes pertama kali. Bagoes berhenti tepat di depan mereka berdua. Bagoes mendorong Bono dengan cukup kencang, ia juga mencengkram baju Bono sangat kencang.

“No, ada banyak hal yang harus kita bicarakan!” seru Bagoes.

Bono menatap Bagoes acuh. Ia pun melepaskan cengkraman Bagoes, “Aku tak ada urusan lagi denganmu. Aku harus menuju stasiun sekarang.”

Bono pun menggenggam kembali tangan Anjani, berbalik berjalan meninggalkan Bagoes. Anjani sedikit menahan ajakan Bono. Ia memandang Bagoes, matanya berkaca-kaca.

“Mukti tak dibunuh oleh tuan, No. Biarkan Anjani pulang. Ia tak tahu apa-apa tentang masalah ini,” ungkap Bagoes. Ia berharap bahwa Bono akan mengerti.

Bono menghentikan langkahnya. Air matanya tak terbendung ketika mendengar nama adiknya disebut. Ia berbalik mendekati Bagoes. Bono menghajar wajah Bagoes, darah di hidungnya mengucur deras, “Kamu tahu dari mana? Kamu itu tak tahu apa-apa! Tidak usah mengarang cerita agar perempuan ini bisa selamat!”

Bono menyeret lengan Anjani agar ia ikut bersama Bono. Bagoes mengehala napasnya, menyeka darah yang ke luar dari hidungnya. Ia mengatakan, “Mukti bukan meninggal karena dibunuh. Setelah dikeluarkan dari rumah tuan, ia bekerja sebagi tukang angkut barang untuk mencukupi kehidupannya. Kemungkinan terbesar, Mukti meninggal karena sakit.”

Bono pun berbalik, mendekati Bagoes. Ia menatap Bagoes dengan tatapan tajam, “Kamu tahu dari mana? Semua itu hanya kebohongan belaka. Mukti memang dibunuh oleh Darmakusuma.”

Mendengar itu, Anjani benar-benar tersentak. Ia mematung sambil mendengarkan percakapan mereka.

“Ibuku yang mengatakannya. Ia tahu dari salah seorang pekerja yang tinggal di dekat rumah Mukti.” Bagoes berucap lirih agar percakapannya hanya didengar oleh Bagoes dan Bono.

Bono mengacak-acak rambutnya, ia berjongkok menutupi wajahnya. Hatinya benar-benar hancur. Wajahnya saat ini benar-benar banjir air mata. Bono merutuki dirinya sendiri. Mukti meninggal bukan kesalahan Darmakusuma.ini adalah kesalahannya. Bono benar-benar menyesali perbuatannya. Ia terlalu main hakim sendiri, egonya sangat besar. Bono benar-benar putus asa. Dalam dirinya berusaha mengikhlaskan Mukti meski hal itu sangat berat.

Bagoes pun meninggalkan Bono dan Anjani di sana. Ia mengambil sepeda yang dipinjamnya tadi. Bagoes pun menuntun sepeda tersebut, Anjani meraih tangan Bagoes dan menatapnya. Namun, Bagoes melepaskan genggaman Anjani. Baginya, janjinya sudah ia tepati hari ini. Bono sudah mengetahui semuanya. Ia takkan pernah lagi menggangu Anjani. Bagoes benar-benar akan pergi dari hidup Anjani. Ia akan menyudahi semuanya. Ia tak mau merepotkan semua orang lagi hanya perihal perasaannya pada Anjani.

Bono mengantar Anjani pulang kembali ke rumahnya. Tak ada percakapan di sepanjang perjalanan. Raut wajah kecewa dan sedih terlukis di wajah mereka. Sesampainya di rumah Darmakusuma, seisi rumah pun kalang kabut mencari Anjani. Di depan rumah, Darmakusuma tampak marah-marah dengan para centengnya. Anjani pun datang dan memasuki area rumahnya. Bono berdiri tepat di belakang Anjani. Anjani masuk melewati Darmakusuma begitu saja. Ia juga tak menggubris pertanyaan Ayahnya itu. Bono masih mematung di depan rumah Darmakusuma. Darmakusuma menyuruh para centengnya untuk bertanya kepada Bono. Ia tak mau ambil pusing. Cukup lama mereka menanyai Bono perihal mengapa ia bisa pergi bersama dengan Anjani sebab Bono tak menjawab pertanyaan mereka. Hingga para centeng tersebut amat jengkel, dihantamlah wajah Bono. Ia tak melawan, justru ia sangat pasrah. Pikiran Bono ke mana-mana, ia tak punya lagi alasan untuk hidup. Bono sangat ingin mati hari ini di tangan para centeng tersebut.

“Maafkan aku,” batin Bono diiringi hujan air mata di wajahnya.

 

***

Siang ini, Anjani duduk termenung di kursi ruang perpustakaan, pikirannya tentang pernikahan terus berkecamuk. Keputusan pernikahannya dengan Arya sudah sangat bulat. Namun, hatinya masih saja menerka, ia terus memikirkan Bagoes. Dadanya sangat sesak, ia sangat ingin menangis hari ini. Anjani benar-benar menyerah ata hidupnya. Anjani kemudian mengambil sebuah kertas dan menuliskan sebuah pesan di sana. Ia berpikir akan mengirimkan surat tersebut pada Bagoes.

Selesai praktikum, Anjani berjalan ke luar gedung. Arya sudah menunggunya di depan, seperti biasanya. Akhir-akhir ini, ia lebih sering menjemput Anjani, juga memberi perhatian lebih padanya. Arya mempersilahkan Anjani untuk masuk ke mobilnya. Di sepanjang jalan pun, Arya cenderung membuka obrolannya, ya, hanya sakadar menanyakan bagaimana tentang praktikumnya. Anjani pun meminta Arya untuk berhenti di salah satu kotak surat di pinggir jalan.

Lihat selengkapnya