Amigdala

Haniffia Shafa Mahartanti
Chapter #8

Teman?

Selesai presentasi mata kuliah manajemen pemasaran, Dewa kembali ke tempat duduknya. Mendengarkan teman-temannya yang mendapat giliran presentasi. Dewa adalah sosok manusia di kelas yang paling dihindari saat mengajukan pertanyaan. Ia selalu melontarkan pertanyaan yang terkenal kritis dan sulit sehingga membuat teman-temannya kebingungan. Namun, pagi ini, ia tampak malas untuk bertanya. Dewa hanya focus mendengarkan dan mencatat hal yang kurang di dalam catatannya.

Yoyo menggeser kursinya agar ia lebih dekat dengan Dewa, “De, lo mau gak bantuin gue.”

Dewa tak menggubris perihal pertanyaan Yoyo. Ia lebih memilih untuk mendengarkan teman-teman yang sedang presentasi di depan daripada mendengarkan Yoyo karena ia tahu bahwa pertanyaan Yoyo hanyalah hal-hal random saja. Seperti kemarin, Yoyo mengatakan, “De, lo tahu gak binatang apa yang cuma punya satu huruf?” Respon Dewa saat itu tentu saja penasaran. Kemudian, Yoyo merangkulkan tangannya ke bahu Dewa dan berbisik, “Ikan.” Pertanyaan itu sukses membuat Dewa sedikit kesal.

Yoyo menyenggol lengan Dewa, “De! Bantuin gue, ya?”

Dewa pun menatap Yoyo dan merespon pertanyaannya dengan nada lirih, “Bantuin apa?”

Yoyo tampak sumringah. Perangainya tiba-tiba saja berubah serius, “Besok, temenin gue ketemu cecan10 di selasar kampus, ya.”

Dewa pun menaikkan alisnya. Ia terlihat bingung, “Cecan mana lagi?”

Yoyo mengambil ponselnya dari sakunya. Ia membuka sosial media miliknya dan menujukkan sebuah salah satu postingan dari sebuah akun, “Bro, lihat. Cakep banget! Kebetulan, dia anak himpunan juga. Nanti, di selasar kita mau bahas projek, nah sebelum itu lo temenin gue ya. Gue mau kasih food mood nih buat doi.”

“Kenapa gak sendiri aja? Nanti, gue juga mau bahas lomba sama—” Dewa belum sempat melanjutkan perkataannya, Yoyo sudah bisa menebaknya.

“Bea, Bea, Bea. Nempel mulu lo sama Bea. Dekat doang, jadian kagak. Lagian lo nanti bahas kompetisi bussines plan juga di selasarkan? Sekalianlah!” ketus Yoyo.

Selesai kelas, mereka pun segera menuju selasar kampus. Yoyo paling bersemangat untuk bertemu cecannya itu, sedangkan Dewa sangat malas untuk bertemu orang-orang. Dewa pun bersandar pada tembok sambil melipat tangannya, melihat Yoyo memberikan food mood, semacam susu dan beberapa snack untuk perempuan yang disebut-sebut Yoyo tadi. Melihat itu, Dewa sedikit bersyukur karena Yoyo tidak tertolak lagi seperti dahulu. Tiba-tiba saja, seseorang menepuk bahu Dewa. Spontan, ia menengok. Perempuan berambut hitam pendek memakai kemeja kotak-kota warna biru sedang berdiri di belakangnya. Ia adalah Bea. Mereka dekat semenjak ospek jurusan, setelah mereka ternyata dalam satu tim. Walaupun Dewa dan Bea berbeda kelas, keduanya masih akrab, bahkan mereka pun masih tergabung dalam satu tim untuk mengikuti lomba-lomba.

“Nunggu lama, ya?” tanya Bea. Dewa menggeleng. Bea mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan memberikannya kepada Dewa.

“Kemarin, gue coba analisis keuangan. Coba, deh, lo cek dulu,” tutur Bea kembali menutup lesreting tasnya.

Dewa membaca dengan penuh teliti analisis yang diberikan oleh Bea tersebut. Ia pun menatap Bea dan memberikan jawaban yang cukup puas. Kemudian, ia mengajak Bea untuk membahas lebih lanjut tentang bussines plan mereka di perpustakaan.

Saat berjalan menuju perpustakaan, Dewa sesekali bertanya pada Bea, “Lo emangnya gak ada rapat untuk hari ini? Yoyo tadi rapat bahas projek bareng adek tingkat.”

Mata Bea melihat ke arah kanan atas, berusaha mengingat-ingat, “Oh, Yoyo. Dia kayaknya lagi bahas proposal sponsor buat event festival.”

Dewa mengiyakan jawaban Bea. Bea ini adalah Wakil Ketua Himpunan Manajemen. Dewa sangat kagum dengan Bea. Di tengah kesibukan mengurusi himpunan, ia masih bisa mengikuti pelbagai kompetisi bersama Dewa. Sejak pertama kali bertemu dengannya, bohong jika ia tak jatuh hati. Bea yang sangat pintar dan juga ramah. Siapa yang tak suka dengannya. Apalagi, dia juga cantik. Kata Yoyo, foto Bea beberapa kali diposting oleh akun cantik kampus. Perihal sosial media, Dewa jarang membukanya. Ia sering kali tak tahu tentang berita hangat di kampusnya. Dewa lebih banyak tahu dari Yoyo.

Dewa dan Bea mengerjakan bussines plan tersebut dengan sangat serius. Beberapa kali, mereka tampak adu argumen, sampai-sampai perpustakaan tampak sangat gaduh. Kata Yoyo, jika mereka sudah bersatu dan mengerjakan sesuatu, dunia akan serasa milik mereka saja. Sama-sama cerdas dan juga kritis, terlebih Dewa yang sangat perfeksionis. Dua sejoli ini layak disebut-sebut sebagai pasangan sempurna. Namun, tentang perasaanya pada Bea, Dewa menganggap bahwa ia hanya kagum saja. Berulang kali, ia menyangkalnya. Dewa juga berpikir bahwa Bea sudah memiliki seorang kekasih.

“Aneh saja, jika perempuan pintar dan juga cantik seperti Bea tak memiliki pacar.” Dewa selalu berpikir seperti itu. Sebenarnya, dalam lubuk hati yang paling dalam, ia juga ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai dan dikasihi dengan tulus karena ia tak punya itu selama ini.

Dewa memeriksa kembali analisis keuangan, terutama pada BEP13 produk dan lama BEP. Dewa melepas kacamatanya dan memijat pelan pelipisnya. Menganalisis keuangan dalam proposal bussines plan-nya memang sangat melelahkan. Perhitungan dari seluruh biayanya harus pas agar bisinis ini dapat memperoleh keuntungan. Dewa dan Bea selalu berpegang teguh pada prinsip ekonomi; berusaha dengan pengorbanan tertentu untuk mencapai keuntungan maksimal. Mereka berhasil menyelesaikan proposal bussines plan dengan sangat sempurna. Sore itu juga, mereka tak ragu-ragu untuk segera mengirimkan proposal mereka kepada pihal penyelenggara.

Perpustakaan segera tutup. Mereka segera menyudahi diskusi. Dewa dan Bea lebih bernapas lega. Mereka tinggal menunggu hasil, apakah mereka lolos ke tahap dua. Dewa pun berpamitan kepada Bea untuk pergi ke toilet terlebih dahulu. Bea mengangguk berjalan menuju depan kampus untuk menunggu ojek online yang ia pesan. Selesai dengan urusan di belakang, Dewa segera menuju parkiran dan mengambil motornya. Air hujan menggenang di parkiran. Ini biasa terjadi. Setiap musim hujan, parkiran selalu banjir. Jika hujan sangat deras, apalagi dimulai dari pagi hingga sore, air di parkiran bisa setinggi lutut.

Dewa melajukan motornya perlahan agar air tak bersibaran. Saat melewati depan fakultas, ternyata Bea masih menunggu ojek online datang. Bea terlihat memainkan ponselnya sesekali. Melihat itu, Dewa menghampiri Bea.

“Belum dapat driver?” tanya Dewa, kemudian mematikan mesin motornya.

Bea meggeleng, “Belum, nih. Mungkin efek habis hujan kali, ya?”

“Bareng gue aja, sekalian.” Dewa menawari Bea. Ia biasa mampir ke suatu tempat ketika pulang dari kampus. Dewa lebih suka mengulur waktu untuk sampai di rumah.

“Emangnya gapapa? Rumah gue jauh, lo!” terang Bea kepada Dewa.

Dewa menghidupkan mesin motornya, “Udah gapapa. Jauh juga paling gak seberapa. Cepat naik!”

Dewa memang tak suka basa-basi. Bea pun pulang bersama Dewa. Sebenarnya, Bea sendiri juga diuntungkan saat ia ditawari pulang bersama dengan Dewa karena ia bisa lebih irit ongkos. Lumayan, uangnya bisa ia sisihkan untuk keperluan yang lain.

Di sepanjang perjalanan, Dewa bertanya kepada Bea, mengapa ia hari ini tak menunggangi motornya.

Bea menjawab dan sedikit mendekat wajahnya ke telinga Dewa, “Motor gue masuk bengkel. Kemarin, adik gue sok-sokan naik motor, gegayaan lepas tangan, eh malah nabrak pohon beringin. Ya, untungnya adik gue gapapa. Motor gue jadi bermasalah di remnya.”

Dewa melaju motornya dengan kecepatan sedang. Setelah Dewa menanyakan hal itu pada Bea, Dewa tak menanyakan apa-apa lagi. Hanya kebisingan hiruk-pikuk Kota Jakarta saja yang menemani perjalanan mereka. Rumah Bea memang agak jauh dari kampus. Mungkin, sekitar 5 km. Dewa pun memasuki gang yang lumayan sempit. Hunian rumah yang berhimpit, juga banyak anak yang lalu lalang di jalan. Mereka tampak bahagia dengan kehidupan mereka yang sederhana. Usai melewati jalanan yang cukup memusingkan bagi Dewa, akhirnya mereka tiba di rumah Bea. Di sana, juga ramai anak-anak yang sedang bermain di depan rumahnya. Bea turun dari motor Dewa.

“Makasih, ya. Udah nganterin gue,” ucap Bea.

Dewa menjawab seperti biasanya. Ia kemudian melihat ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk di depan rumah, dengan luka lecet di lututnya. Dewa menyangka ia adalah adik Bea, seperti yang ia ceritakan tadi.

“Lo gak mau mampir dulu? Sebagai tanda terima kasih, gue mau nraktir lo cilok.” Bea menunjuk Abang-Abang cilok yang berhenti tak jauh dari rumahnya. Dewa pun memutuskan untuk mampir ke rumah Bea terlebih dahulu. Terbesit juga di hatinya untuk tahu lebih jauh mengenai Bea. Dewa dan Bea pun berjalan ke arah Abang-Abang cilok untuk membelinya. Setelah itu, mereka duduk di depan rumah Bea. Bea mengusir adiknya untuk masuk ke dalam. Saat diusir adik Bea justru meledek Bea dengan ucapan, “Ih, Mbak mah kalau punya pacar nempel mulu kaya prangko.” Spontan, Bea langsung mencubit lengan adiknya. Mendengar itu, Dewa hanya tersenyum simpul.

Sorry, ya. Adik gue emang kadang suka nyablak gitu!” lontar Bea sambil menusukkan cilok yang ia beli tadi.

Dewa pun yang tengah menguyah cilok, ia hanya memberi isyarat dengan acungan jempol. Ia pun melihat sedikit menelisik ke dalam rumah Bea, “Bapak, Ibu gak di rumah, Be?”

Bea yang tengah asyik menikmati ciloknya, lantas menjawab dengan perkataan sedikit kurang jelas karena mulutnya penuh. Dewa pun menegur Bea untuk menelan ciloknya terlebih dahulu.

“Bapak gue kerja. Pulangnya biasanya nanti malam. Ibu gue gak tahu ke mana. Mungkin, lagi beli sesuatu di luar. Ya, beginilah hidup gue. Biasa aja, gak ada yang istimewa juga. Bapak gue kerjanya cuma buruh pabrik. Ibu gue, Ibu rumah tangga. Untungnya, gue kemarin dapat beasiswa kuliah. Jadi, setidaknya, orang tua gue gak perlu pusing mikirin biaya kuliah. Awalnya, gue ngotot pengen gak kuliah karena keterbatasan biaya. Gue pengen bantu meringankan beban mereka dengan gue kerja, tetapi orang tua gue lebih ngotot pengen gue kuliah. Prinsip mereka, gue harus jadi sarjana supaya gue dapat pekerjaan lebih layak. Kalau ingat itu, rasanya sedih.”

Lihat selengkapnya