Tirai beludru merah ditarik membuka, menampilkan panggung temaram. Cahaya putih menyala di sudut kiri panggung, menyorot Sari Sekar Dayu dari langit-langit dan ramai tepuk tangan penonton pecah karenanya.
Perempuan itu kemudian menyeret bangku kayu dan menaruhnya di tengah-tengah panggung. Empat kaki bangku berderit, langkah bisu tanpa alas kaki, cahaya terus menaunginya.
Lampu lain menyala, menunjukkan keberadaan tali simpul gantung. Perempuan itu naik ke bangku, menjangkau tali, lalu memasukkan simpulnya di leher.
Penonton menjerit, berteriak agar Sari Sekar Dayu tidak melakukannya, tapi ketika kaki perempuan itu menendang bangku dan membuat tubuhnya menggantung, mereka riuh bertepuk tangan lagi.
SPLASH! Suaminya menamparnya dengan air minum.
Basah wajah Sari Sekar Dayu, kuyup, drama dalam kepalanya buyar seketika.
Oleh suaminya pula, dilempar gelas melamin itu ke sembarang arah, membentur tembok, memantul-mantul di lantai.
“Nggak ada hormatnya sama suami!”
“Suaminya kayak gimana dulu?” Wanita itu mengangkat dagu, menantang.
PLAK! Kali ini bukan air, tapi tangan Si Suami yang mampir di pipinya.
Sari Sekar Dayu menggigit bibir, menahan kebas dan panas di wajahnya.
B*abi!
A*njing!
Pria itu tak hentinya memaki-maki, menampar istrinya itu lagi dan lagi. Kala dia beranjak pergi, Sari Sekar Dayu memegang kakinya.
Pria itu meronta, mengibas-ngibas kaki hingga wanita itu sedikit terpental.
“Gue mau pergi!”
“Nggak!”
PLAKKK! Tamparan kuat pria itu kini membuatnya tersungkur.
Sari Sekar Dayu teriak histeris, jerit-jerit, meluapkan gunduk kekesalannya.
Suaminya tetap pergi.
OWAAAK… OWAAKK….
Napas wanita itu tersengal. Rengekan bayi membuatnya berdiri, meski dengan nyeri, lepek, hancur-hancuran. Dia menyeret langkahnya ke meja makan.
Tangannya masih gemetar ketika menyendok susu botol dari wadahnya ke dalam botol dot. Pada sendokan terakhir, dia menelan ludah. Susunya habis. Hatinya mendadak sakit lagi. Bajingan!
Sari Sekar Dayu menanti-nanti tanggal gajian. Duduk manis dia, seperti gadis menunggu kekasihnya di teras rumah. Ibu rumah tangga sepertinya cuma bisa menunggu nafkah dari suami untuk membeli susu, beras dan popok.
Namun, sungguh sial, suaminya datang hanya bawa petaka. Tak mampir gaji bulan ini di genggamannya. Rupiah berjuta-juta ludes di meja judi.
Ketika menanyakan haknya, suaminya diam.
Ketika dia menolak membuatkan kopi, murkalah suaminya.
Lucu sekali. Harusnya dia yang marah. Harusnya dia yang berang.