Tahun 2000-2001.
Mungkin, saya lahir dengan menjulurkan lidah, meledek Ibu karena berhasil selamat dari racikan jamu yang pernah diminum Ibu.
“Lihat bayi mungil ini, setan macam apa yang mau membunuhnya?” Mbah berpura-pura sedang menggendong bayi, menimang-nimangnya. Setelah cukup besar, suatu sore di musim kemarau, Mbah mendongeng tentang hari kelahiran saya.
“Terus, ibumu marah karena pada akhirnya dia tetap melahirkan kamu. Mbah bilang, semua itu berkat Mbah yang mencegah Ibu menggugurkan kamu. Mbah bilang, ‘kali ini, pasti bayinya perempuan’. Dan, benar saja, kamu yang lahir.”
Saya ingat, saya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Namun, dongeng Mbah itu selalu terdengar tidak menyenangkan bagi saya. Apalagi, Mbah selalu mengulang dongeng itu terus-menerus dan menambahkan dongeng lain seperti:
“Kamu anak Arisah. Arisah itu bidan yang bantu Ibu melahirkan kamu. Ya, kamu anaknya Arisah, bukan anak ibumu.”
Saya tumbuh dengan membenci Mbah dan Ibu sekaligus. Mungkin, di mata mereka, dulu, saya hanyalah bayi menyebalkan yang bisanya menangis dan berak. Akan tetapi, ingatkah Ibu? Berat tubuh saya cuma 1,7 kilogram, mungkin juga karena jamu yang Ibu minum.
Menyesalkah, Ibu? Meski di mata Ibu saya hanya seonggok manusia kecil tak berdaya yang membuat karirnya di perusahaan asuransi berhenti. Ya, Ibu tak menginginkan saya karena karir di perusahaannya sedang bagus. Baginya, mungkin, mengurus bayi akan sangat merepotkan dan melelahkan.
Bagaimana pun, saya lahir sebagai bungsu dari tiga bersaudara dan kedua kakak saya adalah laki-laki. Mas Ar Si Sulung Pendiam dan Mas Gie Si Anak Emas.
“Kamu harus mengalah karena kamu yang paling tua,” kata Ibu kepada Mas Ar.
“Porsi makan Mas Gie lebih banyak dari kamu, karena dia anak laki-laki.” Sedang begitu, kata Ibu pada saya.
Saya lahir di Taman Kalijaga Permai, Cirebon. Waktu itu masih banyak lahan kosong dan penyebaran listrik belum merata, masih sering mati lampu sehingga penerangan hanya bersumber dari lampu minyak. Kata Mbah, saya pernah ketiban lampu minyak saat tidur, untungnya lampu itu tidak dalam keadaan menyala.
Besar sedikit, sekitar usia kelas 1 SD, saya sering disuruh beli minyak tanah untuk mengisi lampu maupun untuk kompor sumbu. Jika kami kaya, mungkin Ibu pakai kompor gas seperti di rumah Eyang–ibunya bapakku–di Bekasi. Nyatanya, saya harus beli minyak di warung Butet seliter-seliter karena kami tak punya uang untuk membeli lima liter sekaligus atau satu jeriken penuh.
Selepas dari perusahaan asuransi, setelah melahirkan saya, Ibu mengajar les privat bahasa Inggris dan muridnya tidak terlalu banyak. Sedangkan Bapak tidak punya pekerjaan tetap dan sering bolak-balik ke Bekasi. Mungkin, baginya, Bekasi dan Jakarta banyak saudara, jadi, banyak yang bisa dikerjakan di rumah saudara–mengecat, menjadi sopir, apa pun.
Bapak pulang pergi naik kereta, tak pernah pakai bus. Namun, Bapak tidak membeli tiket melainkan ‘bayar di atas’. Kalian penumpang kereta PJKA (sebelum berubah nama menjadi KAI) pasti paham maksud saya.
Bapak pernah memiliki pekerjaan tetap, di kantor notaris maupun jadi sopir perusahaan, akan tetapi, saya tidak sempat merasakan jerih payahnya saat itu. Ha-ha, jangan-jangan saya memang pembawa kemiskinan?
Kalimat-kalimat seperti, ‘nanti nunggu Bapak pulang’ atau ‘nanti tunggu Mbah gajian’ adalah dua kalimat yang sering saya dengar setiap minta sangu sama Ibu.
Gaji yang dimaksud adalah uang penghasilan peninggalan Mbah Kakung yang pernah bekerja sebagai kapten polisi.
“Cari uban, nanti Mbah kasih kalau sudah gajian,” iming-iming Mbah setiap kepalanya gatal karena uban.
Namun, orang yang paling sering menerima ‘tawaran pekerjaan’ itu adalah Mas Gie dan saya selalu kalah cepat darinya. Tahu-tahu, uban Mbah sudah dicabut semua sehingga saya tidak mendapatkan apa-apa.
Kembali ke sore itu, saya berangkat membawa jeriken kosong, lalu di jalan, saya menendang-nendang jeriken itu dengan lutut–sungguh iseng. Di warung Butet, saya pun memperhatikan mamaknya Butet saat menuang minyak tanah dari drum ke jeriken, pakai canting dan corong. Lantas, saya menirunya di rumah saat mandi sore. Main beli-belian minyak. Akibatnya, saya dimarahi Ibu karena mandi terlalu lama sampai jari-jari saya keriput semua, sampai hampir magrib.
Sudah mandi, sudah duduk rapi, Ibu menyuruh saya lagi. “Sana ke Mbak Ose,” perintahnya, sambil meletakkan dua koin seribu pohon kelapa ke dalam mangkok untuk saya bawa.