Besoknya, saya enggan berangkat sekolah. Satu, ngambek. Dua, saya malu ditagih uang BP3. Guru wali kelas saya selalu menagih di depan kelas. Lebih parah lagi, tidak ada yang mau berteman dengan saya karena itu. Namun, Ibu memaksa saya bangun dengan memukul kaki saya berkali-kali. Saya meringkuk melindungi diri, menangis dan berteriak minta ampun. Barulah setelah saya bilang saya mau sekolah, pukulan itu berhenti.
Saya duduk di tikar dengan mata terasa bengkak pedih. Mas Gie dan Mas Ar sudah berangkat duluan. Mbah sedang minum teh di teras. Ibu datang membawa wajan dan sutil. Wanita itu memegang wajan dengan kain lap, lalu meletakkan wajan itu di lantai. Saya diam saja, menunggunya membuatkan nasi kepal untuk saya.
Saya menatap malas-malasan saat Ibu menyendok nasi ke atas selembar daun pisang di tangannya, lalu wanita itu membulat-bulatkan nasi itu tanpa mengisinya dengan sayuran, ayam atau apa pun. Itu cuma nasi yang disangrai kemudian diberi Masako. Kami tak punya minyak goreng untuk buat nasi goreng, hanya nasi yang disangrai di atas wajan.
Ibu memberikannya satu untuk saya, lalu mulai membulat-bulatkan lagi. Saya menggigit sedikit, mengunyahnya, menelannya sambil menahan merasakan air mata menggenang lagi di kelopak mata saya. Pandangan memburam.
“Kapan Bapak pulang?” tanya saya, dengan mulut penuh dan bercucuran air mata. Saya tidak makan semalaman dan sekarang cuma ada nasi ini untuk dimakan.
“Nanti, kalau sudah dapat uang,” jawab Ibu, tegas, tapi tak membuat saya puas.
“Iya, kapan dapat uangnya?”
Ibu menatap saya dengan ekspresi lelah. Saya sungguh ingin balas melotot, tapi tidak berani. Pada akhirnya, saya memalingkan wajah lebih dulu sambil berusaha susah payah menelan nasi yang masih ada di mulut. Saya lihat, Mbah masuk dari pintu depan yang terbuka, berjalan kemari.
Saya menelan kunyahan terakhir, lalu mencium tangan Ibu seraya berdiri. Sepintas, sempat saya lihat Ibu hendak mengambilkan minum untuk saya, tapi saya tidak haus, sudah kenyang minum air mata sendiri.
“Assalamualaikum.” Saya ucapkan salam saat mencium tangan Mbah. Sambil lalu, saya dengar Ibu dan Mbah kompak menjawab salam.
**
“Jupri!” Saya menyamper Jupri di rumahnya. Karena kedua kakak saya laki-laki, saya nyaris tidak pernah punya teman perempuan. Mainan saya sehari-hari adalah main layangan atau memanjat pohon kersen. Jupri dan Yohan adalah teman-temannya Mas Gie, lebih tepatnya, ‘anak buah’ Mas Gie. Saya satu sekolah dengan Jupri, sementara Yohan beda sekolah.
Selagi menunggu Jupri keluar, saya melipir ke bengkel kayu milik bapaknya Jupri di depan rumahnya. Bagian lantai bengkel itu adalah tanah yang seluruhnya tertutupi serbuk kayu. Saya sengaja menginjak-injaknya karena enak, empuk. Beberapa kali, saya berjongkok untuk memungut potongan kayu kecil-kecil yang bentuknya macam-macam.
“Dayu!” Ketika saya asyik bermain, terdengar suara Bu Lily, ibunya Jupri, memanggil saya. Refleks, saya membuang potongan-potongan kayu itu karena tidak mungkin saya membawanya ke sekolah.
Di depan pintu, Bu Lily sudah menunggu dengan Jupri. Lihatlah anak pendek berambut mangkok terbalik yang sedang mencium tangan ibunya seraya menyeka ingus di hidungnya itu. Mas Gie sering meledek saya pacarnya Jupri. Saya bergidik.
“Hati-hati, ya, minggir jalannya,” pesan Bu Lily. Wanita berambut ikal itu menyodorkan tangannya karena biasanya saya salim, tapi kali ini tidak. Saya tidak mau kena ingusnya Jupri. Saya cuma menyengir, melipir dan mengucapkan salam.
“Bapakmu nggak pulang?” Saya bertanya, setelah kami berpamitan.