Saya berlari ke arah lahan kosong di samping perumahan yang belum dihuni. Terus, saya berjalan hingga ke tengah dan kaki mulai gatal-gatal karena rumput yang tinggi. Saya duduk di sebelah rerimbunan bunga wedelia warna merah yang tumbuh liar. Saya garuk-garuk kaki sambil berkesal-kesal.
Kalau saya pulang, Ibu pasti marah besar. Maka, saya memutuskan tetap di sini, sekalipun panas mulai menyengat. Tak masalah, nanti saya bisa pindah ke pos keamanan di Permata–sebuah kompleks perumahan yang bersebelahan dengan Taman Kalijaga Permai.
Di antara rimbun rumput dan wedelia, saya menemukan buah ciplukan yang sudah matang berwarna oranye. Buru-buru, saya memetiknya dan meletakkannya di telapak tangan. Ini keberuntungan besar, karena biasanya buah ciplukan yang matang itu tak tahan lama berada di pohon, pasti ada anak-anak lain yang mengambilnya lebih dulu. Saya memeriksa tangkai-tangkai tanaman itu, tapi tidak menemukan apa pun lagi.
“Nok, ngapain di sini?” Orang lewat–entah siapa–menyapa saya. Saya melengos tak menjawab. Bapak-bapak itu kemudian pergi ke arah Permata. Lahan kosong ini memang kerap dijadikan jalan pintas menuju ke sana.
Angin berembus, membuat rumput-rumput dan bunga wedelia menari-nari. Saya melahap buah ciplukan dan menggigitnya hingga buah itu pecah di dalam mulut. Manis, hampir busuk.
Lama-lama, saya bosan. Dua bunga wedelia sudah botak karena kelopaknya saya cabut. Saya sudah berjalan ke sana-kemari, tapi panas semakin terasa. Haus dan lapar. Haruskah saya pulang? Barangkali, Ibu masih punya nasi sangrai di wajan. Barangkali, saya bisa menemukan Rp25 atau 50 perak kalau mengacak-acak tempat kosmetik Ibu.
Tak masalah jika saya mengendap-endap. Pukul segini, biasanya Mbah berbaring di dipan sambil kipas-kipas dan sepertinya Ibu belum pulang dari sekolah.
Bulatlah keputusan saya untuk pulang, untuk mencari recehan atau sekadar minum air putih. Saya berlari, kemudian sedikit lagi sampai rumah, saya mulai mengendap. Rumah sepi, tapi pintunya terbuka setengah. Apa Mbah meninggalkan pintu terbuka?
Saya menginjak bagian belakang sepatu dengan kaki untuk meloloskan kaki lainnya. Berhasil, tanpa suara. Kedua kaki berbalut kaos kaki putih berjingkat-jingkat di lantai semen yang dingin. Satu, dua, satu, dua. Saya membuka pintu, memasuki ruang tamu dengan aman, tapi sesampainya di ruang tengah, saya berhenti, mematung, merasakan aura tak biasa. Ibu berdiri di seberang sana dengan tangan bersedekap di dada, memelototi saya.
“Lho, Ibu tidak ke sekolah?” Saya refleks bertanya. Mulut sialan ini!
“Kamu bolos?” Ibu malah bertanya balik, dengan mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai. “Kenapa kamu berantem sama Gie?”
Saya mendengkus, malas menjelaskan. Saya menyambar tas lalu membawanya ke kamar untuk digantung pada paku seperti biasa.
“Dayu!” Ibu membentak.
“Kenapa Ibu cuma kasih sangu ke Mas Gie?” Saya balas teriak, berhenti di depan kamar. “Saya juga mau jajan!”
Saya menangis, tumpahlah semua kekesalan yang ada. Saya lihat tangan Ibu mengepal, suaranya menggeram. Apa? Saya mau dipukul lagi?
“Ada apa? Kenapa ini?”
Sontak, saya menoleh ke arah pintu, mendengar suara yang sangat saya kenal. Bapak! Bapak pulang!
Saya berlari menghampirinya, Bapak menjatuhkan tas pakaian jinjing yang dibawanya lalu saya memeluknya erat. Saya menangis, tentu saja. Saya berharap, Bapak tidak pergi-pergi lagi.
**
Bapak bawa banyak oleh-oleh, salah satunya permen dan tisu basah dari kereta. Begitu menemukannya di kantong celana Bapak, saya langsung mengambilnya untuk saya sendiri. Saya akan melap wajah dengan tisu basah yang wangi itu.
Saya nyaris melupakan kejadian di sekolah tadi. Mas Gie sudah pulang dengan membawakan tas saya. Walaupun begitu, saya tidak luluh. Paling-paling, dia terpaksa membawakan tas saya karena disuruh guru. Ibu ternyata tidak datang ke sekolah meski dipanggil. Saya tebak, Ibu tidak mau datang karena takut ditagih uang BP3.
“Injak-injak Bapak, yuk.” Bapak menghampiri saya di kamar lalu langsung mendaratkan tubuh besarnya itu ke atas ranjang. Saya menurut dan mulai naik ke punggungnya.
“Tadi kenapa sama Ibu?” tanya Bapak dengan suara tertekan karena saya sedang menginjak punggungnya.
Saya memberengut, masih terus menginjak-injak. Saya menceritakan semuanya, lalu Bapak bilang, “Mungkin Ibu nggak punya uang lagi. Mas Gie kan sudah kelas lima, jam pelajarannya lebih banyak, pulangnya lebih lama.”
Saya berhenti karena kesal. Dalam hitungan ketiga, saya lompat-lompat di punggung Bapak untuk melampiaskan kekesalan. Setelah Bapak berjanji akan memberi uang, barulah saya berhenti dan menyengir lebar.
“Beli Sampoerna Kretek setengah bungkus, ya. Kembaliannya buat kamu.” Bapak menyodorkan uang kepada saya.
“Lagi?” Saya menyengir, menengadahkan tangan, minta uang lagi.
Bapak mengeluarkan recehan dari kantong celana pendeknya. Banyak. “Sudah, nggak ada lagi,” katanya, seraya berbalik.
Saya melompat kegirangan dan melesat ke warung Butet dengan kecepatan cahaya.
**
Ibu berubah jadi malaikat setiap Bapak ada uang, tapi itu cuma bertahan beberapa hari. Kalau uang Bapak sudah habis, pecahlah perang dunia.