Amigdala: Sari Sekar Dayu

Anita Utami
Chapter #7

LIMA

Perumahan Taman Kalijaga Permai pada tahun itu masih sering mati lampu. Jika itu terjadi malam-malam, biasanya kami akan membuka pintu dan jendela supaya cahaya bulan masuk. Yang tidur bisa bangun karena kepanasan.

Paling saya takutkan, kalau ada yang kesurupan. Mungkin karena masih banyak pohon-pohon besar dan rumah-rumah kosong, jadi sering ada yang kesurupan. Tak usah malam-malam, siang pun orang-orang bisa kesurupan. Kalau ada yang kesurupan pas mati listrik, suasana tambah mencekam.

Malam ini, cukup tenang. Saya, Mas Gie dan Bapak memantulkan bayangan di tembok dengan cahaya lilin.

“Gini.” Bapak menyatukan kedua telapak tangan lalu mengepak-ngepakkannya menjadi seperti burung. Mas Gie menirunya. Saya membuat bentuk lain dengan menguncupkan jari-jari lalu membentuk telinga pakai telunjuk dan kelingking.

“Jadi anjing!” Saya bersorak senang. Bapak mengacak rambut saya gemas.

Bosan bermain bayangan, saya berpindah ke teras, melewati Mbah dan Ibu yang mengobrol di ruang tengah. Mas Gie berlari ke luar, menyalip saya.

“Jangan jauh-jauh, nanti dibawa kolong wewe.” Mbah memperingatkan, sambil menakut-nakuti. 

Di luar, ramai anak-anak sebaya bermain orang kaya-orang miskin. Saya mendekat, berjongkok dan bertopang dagu memperhatikan. 

“Saya orang kaya … saya orang kaya!”

“Saya orang miskin … saya orang miskin!”

“Saya minta anak … saya minta anak!”

“Namanya siapa? Namanya siapa?”

Satu anak orang miskin sudah pindah ke deretan orang kaya. Sebentar lagi, orang kaya akan minta anak lagi. Jumlah pemain yang tadinya rata antara orang kaya dan orang miskin, lama-lama, orang miskin jadi sedikit. Tidak seru. Tidak akan ada penambahan pemain.

Saya berjalan ke sisi lain, tempat teman-teman Mas Gie bermain gobak sodor. 

“Mas, ikutan,” pinta saya.

“Jangan, kamu masih kecil,” larang Mas Gie, menyebalkan, sambil mendorong-dorong saya menjauh.

Saya memajukan bibir, memberengut, lalu berjalan ke pinggir got, berjongkok dan bertopang dagu. Di ujung gang sana ada anak-anak lain sedang main juga, tapi saya tidak bisa main lompat tali. 

“Sana pulang,” suruh Mas Gie, di sela-sela bermain.

Saya menjulurkan lidah lalu menggerutu, “Memang mau pulang.” Ingin rasanya, saya melempar sandal ke arahnya, tapi yang sudah-sudah, sandal saya tak kembali, dilempar ke atas genting.

Di ruang tengah, Mbah dan Ibu tiduran. Ditemani cahaya lilin, Bapak sedang duduk di lantai, melinting tembakau untuk membuat rokok. Saya menghampirinya, berjongkok di depannya. 

“Sudah mainnya?” tanya Bapak, seraya menempelkan nasi ke kertas tembakau, kemudian mulai melinting.

Untuk menjawab pun saya kesal. Saya tiduran, memeluk Ucik–boneka beruang warna cokelat dan mulai merasa tenang karena bulu-bulu halusnya. Boneka saya ada banyak, semuanya boneka beruang dan merupakan pemberian dari Bu Dewi dan tante-tante yang lainnya. Ucik ini boneka kesayangan saya. 

Bau asap rokok mulai tercium. Saya memiringkan badan, menghadap ke arah kamar yang gelap. Saat itulah sesuatu yang bercahaya masuk dari jendela kamar. Kecil, terbang menari. 

“Kunang-kunang!” Saya terperanjat bangun kemudian berlari menghampiri kunang-kunang itu, berusaha menangkapnya, tapi tidak kena. Datang empat kunang-kunang lagi. Saya senang. Mereka indah!

Bapak membantu saya dengan cara menutup semua pintu dan jendela agar kunang-kunang itu tidak kabur. Perlahan-lahan, Bapak mendekati kunang-kunang yang hinggap di atas bantal. Hap, kena! Bapak pandai sekali menangkap kunang-kunang.

Lihat selengkapnya