Awal Tahun 2004
“Kamu mau tidur di mana, Mas? Rumah ini sempit.” Tante Cahya, adik bungsu Bapak, melayangkan pertanyaannya, mendarat di kepala Bapak dan Ibu yang sedikit berkabut. Kabut itu sudah ada sejak kedua orang tua saya itu duduk termenung di kereta. Saya jadi tidak dapat menatap perasaan mereka. Apa mereka sedih? Apa lega? Bahagia?
Kalau perasaan saya, jelas muram. Tak ada Ucik di sini. Kereta yang kami naiki pun bukan Cirebon Express kelas bisnis, melainkan Tegal Arum kelas ekonomi. Tidak akan ada tisu basah atau permen. Tiketnya pun tak bisa saya mainkan, saya robek pinggirannya yang seperti kertas binder. Tiket Tegal Arum kecil, tebal, bentuk persegi panjang terbalik dan berwarna merah muda.
Keretanya lebih sering berhenti dibanding Cirebon Express. Naiknya pun dari Stasiun Prujakan, bukan Kejaksan. Sewaktu mau turun, menunggu di bordes, saya mengendus aroma badan sendiri. Baunya aneh seperti tahu Sumedang yang tadi dimakan Bapak dan sedikit bau asap rokok.
Kami turun dari kereta. Bapak membawa barang-barang sementara Ibu menggandeng saya. Satu kali, saya meronta, menolak dipegang oleh Ibu. Saya masih marah! Namun, Ibu memaksa menggandeng hingga kukunya yang selalu panjang menggores kulit tanganku.
Saya berkesal-kesal dalam hati. Seorang ibu-ibu yang berpapasan tampak tersenyum lebar mentertawai. Huh! Apa anak berkuncir dua yang pipinya gembil, bibirnya mengerucut berjalan terburu ini tampak lucu di matanya?
Keluar stasiun, kami langsung naik angkot yang banyak menunggu di depan stasiun. K-02 jurusan Terminal Bekasi-Pondok Gede yang berwarna oranye tua. Sepupu saya di Cirebon bilang kalau angkot itu taksi. Saya tak setuju. Taksi, ya taksi, yang warna biru dan mobilnya lebih kecil.
Lama sekali angkot ini sampainya. Macet di terminal, berhenti menurunkan penumpang, berhenti menunggu penumpang. Bapak pun berulang kali mengingatkan agar saya tidak mengeluarkan tangan dari kaca jendela. “Nanti kesamber motor,” katanya.
Goro. Ramanda. Saya menyombongkan diri kepada Mas Gie saat melewati kedua pusat perbelanjaan itu. Eyang sering mengajak saya ke sana setiap kali saya ke Bekasi. Namun, sekarang, Eyang sudah tiada. Saya bahkan tidak menghadiri pemakamannya, karena sedang di Cirebon dan yang bisa datang saat itu hanya Bapak. Ongkosnya cuma cukup untuk Bapak.
Ini memang bukan kali pertama bagi saya ke Bekasi. Rasanya, menyenangkan bepergian jauh. Namun, setiap sampai di rumah Eyang, perut saya selalu mulas dan sialnya, WC duduk di kamar mandi Eyang selalu mampet dan air di lantai kamar mandi selalu menggenang—mengalir lambat ke saluran pembuangan air. Itu membuat saya enek dan malas buang air. Sekarang pun, saya mulas karena Tante Cahya terus menatap kami dengan benci.
“Anakmu banyak, masa mau tidur sempit-sempitan di satu kamar?”