Amigdala: Sari Sekar Dayu

Anita Utami
Chapter #9

TUJUH

Ketika anak perempuan seusia saya menyukai Dao Ming Si dan Hua Ze Lei, saya lebih ingin menjadi San Chai dengan rambut panjangnya yang selalu dikepang dan menjadi cantik saat diurai. Saya juga suka karakternya yang miskin, tapi kuat. Mungkin, karena saya terus-terusan main sama anak cowok, perangai saya menjadi sedikit tomboi. Dulu saya benar-benar ingin memanjangkan rambut saya sampai sepanjang rambut San Chai, tapi rambut saya ikal dan seperti rambut jagung.

Lalu, jika anak-anak lain ingin menjadi Anna dalam Amigos X Siempre, saya ingin menjadi Renatta karena menurut saya dia lebih cantik dan keren. Makanya, ketika sekuel Amigos tayang di Indonesia dan Annanya menjadi ada dua, saya tidak suka menontonnya.

Di Cirebon, saya tak punya TV. Di rumah Eyang ada TV, tapi ditaruh di kamar Tante Ndari. Saya sering ikut menonton, tapi tidak bisa memilih mau menonton apa dan jamnya pun dibatasi. Setiap pukul sepuluh malam, Tante Ndari tutup pintu karena mau tidur.

Tante saya itu, menonton sendiri saja sudah ramai. Kalau ada yang lucu dia tertawa-tawa sampai kehabisan napas, kalau kesal dia akan teriak-teriak dan mengentak-entak kaki. Nah, kalau menonton sinetron, saat adegan romantis atau ada aktor yang tampan, dia menjerit. Ya, suaranya ada. Dia tidak bisu, hanya saja tidak bisa bicara. Mulutnya bukan untuk mengucapkan kata-kata, hanya bersuara.

Ditambah Bapak, menonton TV di kamarnya menjadi semakin ramai. Saya sering menimbrung ingin tahu, terlebih kalau mendengar Bapak terbahak-bahak. Kalau menurut saya tidak seru, saya akan pergi, main bersama Leo.

Kala itu, AFI sedang populer. Akademi Fantasi Indosiar. Jagoan saya adalah Mawar dan Tia. Mawar itu cantik dan Tia sangat keren saat duet dengan Micky, menyanyikan lagu Bring Me To Life-Evanescene. Saya menangis sesenggukan setiap ada yang tereleminasi, kendati tak paham betul apa itu eliminasi dan mengapa mereka menangis karena pulang. Yang saya tahu, itu adalah perpisahan.

Seperti perpisahan Rangga dan Cinta di bandara. Itu membuat hidung panas dan saya menangis. Akan tetapi, saat keduanya berciuman, Tante Ndari memekik dan tertawa. Bapak menutupi mata saya. Saya cengar-cengir saja, menikmati kekhawatiran Bapak. 

#

Selain televisi di kamar Tante Ndari, beberapa kali, Ibu punya uang dan cukup keberanian untuk mencicil alat elektronik itu karena merasa tak bebas menumpang nonton. Columbia, Solite, saat itu saya suka sekali melihat-lihat brosurnya, memilih sesuka hati, membayangkan semuanya bisa saya miliki.

Sayang, kegembiraan punya televisi biasanya cuma berlangsung sebentar. Kalau tidak ditarik, digadai lalu tidak bisa ditebus. Untungnya, dalam waktu sesingkat itu, saya mempunyai kenangan manis bersama televisi-televisi itu.

Piala Euro 2004 saat Yunani melawan Portugal, pertama kalinya saya jatuh cinta pada Cristiano Ronaldo. Itu karena Bapak dan Mas Gie terus-menerus nonton bola, jadi saya ikut-ikut—dan saya tidak pernah menyesalinya. 

Waktu AFI booming, saya bahkan tidak langganan tabloid Gaul atau Keren Beken dan hanya beberapa kali sengaja membeli kertas binder yang ada Mawar atau Tia. Namun, sejak tahu Ronaldo, saya sampai tidak berlangganan majalah Bobo lagi, menggantinya dengan langganan koran Soccer. Ronaldo sedang dalam masa emasnya bersama Manchester United. Setiap kali menang, saya selalu tidak sabar menunggu wajahnya terpampang di halaman depan koran!

Saat SMP tahun 2006, saya tidak lagi menggunting koran bergambar Ronaldo untuk dijadikan kliping, tapi menyewa satu jam internet di warnet, mengunduh foto-foto Ronaldo, meminta operator mencetaknya dan semua itu saya bayar dengan uang jajan.

Lihat selengkapnya