“Mas Ar berhenti sekolah, Pak?”
Bapak tidak sempat menjawab pertanyaan saya. Matanya tertuju pada Ibu yang baru pulang.
“Gimana?” tanya Bapak, kepada Ibu.
Ibu menggeleng sembari menaruh tasnya di atas meja makan. Bapak mendengkus.
Saya tidak tahu ada apa ini. Yang saya tahu, Ibu habis dari sekolah Mas Ar, mengurus sesuatu. Dari wajah Ibu, saya bisa menebak, Mas Ar benar-benar putus sekolah dan penyebabnya cuma satu: tidak punya biaya.
Sekolah Mas Ar itu SMK swasta, jadi tidak gratis. Jaraknya pun jauh dari rumah, harus naik angkot. Berarti harus punya ongkos setiap hari.
Ibu dan Bapak akhirnya menyerah, setelah meminta pertolongan ke sana kemari, tapi nihil. Kasihan Mas Ar. Kakak sulung saya itu jadi semakin pemurung dan jarang pulang, lebih sering makan dan tidur di musala dekat rumah.
Dia juga sering bertengkar dengan Bapak, hanya karena Mas Ar lebih membela Ibu setiap Ibu bertengkar dengan Bapak.
Saya sayang Bapak, juga sayang Mas Ar, jadi sulit berada di antara keduanya. Kalau disuruh memilih membela siapa, saya tidak akan bisa.
Mas Ar yang menemani saya di kamar setiap Bapak dan Ibu bertengkar. Mas Ar yang selalu mengajari saya cuci muka dan gosok gigi sebelum tidur. Mas Ar yang setiap pagi membangunkan saya untuk salat subuh.
“Ayo, bangun, salat subuh cuma dua rakaat, kok.”
Dia tidak akan menyerah sampai saya bangun. Apalagi, kalau bulan puasa. Saya tidak boleh langsung tidur sehabis sahur, harus salat subuh dulu. Seringnya, saya marah karena mengantuk, tapi tidak membuatnya menyerah. Kalau perlu, dibasuhnya wajah saya dengan air.
Kalau soal main, Mas Gie lebih seru. Main monopoli, kartu remi, Scrabble hingga rumah-rumahan. Jarang sekali saya main dengan Mas Ar, lebih sering nyanyi-nyanyi di kamar.
Bagaimana pun, saya rindu momen main karambol berempat dengan Mas Ar, Mas Gie dan Bapak. Itu cuma terjadi saat di Cirebon. Semenjak tinggal di rumah Eyang, Mas Ar kian menjauh.
#