“Cuma disuruh begitu saja nggak mau!” Bapak membentak saya. Seumur-umur, rasanya, baru itu Bapak membentak saya. Cuma karena saya tidak mau disuruh panggil tukang koran yang lewat depan rumah.
Suaranya yang menggelegar, mematahkan hati ini hingga berkeping-keping. Saya menangis, masuk kamar dan ngambek.
Sejak itu, ada jarak yang membentang di antara saya dan Bapak. Setiap berpapasan di rumah, wajah Bapak selalu kesal. Sampai Bapak masuk rumah sakit, saya tak bertanya apa pun ke Ibu, juga tidak ada yang menjelaskan kepada saya. Saya cuma merasa, rumah sangat sepi. Mas Ar, Mas Gie, Ibu dan Pakde bergantian menjaga di rumah sakit. Tak ada yang main gitar, bahkan tak ada yang bertengkar. Hingga suatu hari, Ibu menyuruh Mas Gie menjemput saya untuk ke rumah sakit menemui Bapak.
Bapak dirawat di rumah sakit di Jakarta Timur. Mas Gie mengajak saya naik KRL, turun di Jatinegara, lalu naik angkot hingga ke depan rumah sakit.
Saya mengikuti Mas Gie berjalan di lorong rumah sakit yang panjang. Sampailah pada sebuah kamar rawat inap. Ada tiga ranjang di sana dan saya menemukan Bapak di ranjang tengah.
Pria paruh baya itu telentang di ranjang dengan selimut garis-garis menutupi setinggi pinggang. Nebulizer terpasang, memberikan oksigen melalui hidungnya.
Saya berdiri ke samping ranjang dan menyentuh lengan Bapak yang kurus. Bapak cuma menoleh, matanya melirik saya.
Saya melirik Ibu. Kenapa Bapak tidak bicara apa-apa?
“Oleskan madu ke bibir Bapak.” Ibu malah menyodorkan sendok dan botol madu.
Saya menerimanya dan mulai menuang madu itu ke sendok, lalu Ibu melepas nebulizer-nya sebentar agar saya bisa mengoleskan madu di bibirnya.
“Bapak sudah nggak bisa minum,” jelas Ibu. Makanya, bibirnya pecah-pecah dan berdarah. “Jagain sebentar, ya. Ibu tadi dipanggil, disuruh ke ruangan dokter.”
Saya mengangguk. Mas Gie juga pamitan mau makan. Mas Ar tidak ada. Sebelum saya dan Mas Gie berangkat, Mas Ar baru sampai rumah. Gantian. Pakde mewanti-wanti supaya tetap ada yang menjaga Tante Ndari di rumah. Tante Cahya sudah tidak tinggal bersama kami lagi, lebih memilih mengontrak rumah.
Setelah sendirian, saya menatap sekujur tubuh Bapak yang kurus, terutama kakinya. Tulangnya sampai menonjol jelas dan warna kulitnya sangat putih.
Bapak matanya terbuka, tapi tampak tidak sadar. Seperti bukan Bapak. Entah untuk alasan apa, saya takut. Takut, karena hubungan kami masih merenggang. Takut, karena kondisi Bapak mengkhawatirkan.
Hari itu, saya tidur dan mandi di rumah sakit. Besoknya, hari Jumat. Saya ingat, bagaimana hari itu sangat panas dan khutbah Jumat dari masjid terdengar sampai ke kamar ini. Saya duduk di dekat jendela katup dua yang besar, menikmati semilir angin.
Berita duka cita mengudara. Hari ini, sudah ke sekian kalinya. Sejak kemarin, saya banyak mendengar berita duka cita.
“Ar suruh pulang saja, Ndari sendirian di rumah, nggak ada yang jagain.” Saya dengar, Pakde menyuruh Ibu. Mas Ar memang sudah datang dari pagi. Mulanya, Mas Ar menolak, tapi tidak ada yang berani membantah Pakde. Kata Ibu, Pakde bahkan menyuruh Ibu untuk membawa Bapak pulang untuk dirawat di rumah saja. Ibu menolak, karena Bapak membutuhkan peralatan di rumah sakit.