Hal yang paling saya sesali adalah, saya tidak ada saat Bapak masih sadar. Waktu saya datang ke rumah sakit, ternyata Bapak sudah koma. Kenangan terakhir yang saya buat bersama Bapak adalah saat Bapak memarahi saya. Apa Bapak membenci saya hingga saat terakhirnya? Saya benar-benar tak tahu.
Bapak mungkin bukan ayah yang sempurna, tapi saya mencintainya nyaris paripurna.
Beliau adalah cinta pertama saya.
Orang yang berjanji akan berhenti merokok andaikata punya saya—anak perempuan, kendati menunaikan janji tak semudah itu.
Bapak dan rokok Sampoerna Kreteknya.
Bapak dan rokok-rokok lintingannya sendiri.
Rokok yang merenggut nyawanya.
Sestoples tembakau, kertas rokok dan sebutir nasi untuk lem. Itu sudah cukup membuatnya tersenyum sepanjang sisa malam, sambil membaca komik Shinchan dan terkekeh sendirian, pelan-pelan.
Bapak yang sering naik KRL ke Jakarta, beberapa kali mampir ke Pasar Senen, beli buku atau komik bekas untuk anak-anaknya yang suka membaca.
Saya senang Bapak ikut-ikutan anak-anaknya membaca komik karena koran Warta Kota yang selalu dibelinya tiap pagi pasti sudah habis saat malam.
Saya senang Bapak tertawa karena itu, meski harus berkali-kali membenarkan posisi kacamata yang gagangnya tinggal sebelah.
Setiap terbangun dari tidur dan kebelet pipis, saya tidak takut ke kamar mandi karena ada Bapak di meja makan, begadang membaca komik
“Dayu juga mau pakai kacamata, Pak, biar jelas kalau lihat cowok ganteng,” gurau saya, suatu malam, sengaja mengganggunya.
“Ck!” Bapak berdecak. Saya terkekeh karena telah mengacaukannya. Semenjak tahu saat pacaran, Bapak mengutus Mas Gie untuk membuntuti saya setiap bermain.
Saya lalu memeluk perut gendutnya. Bapak meronta, menyingkirkan saya dari sana. Marah, ceritanya. Terpaksa kukitik-kitik. Bapak tertawa. Saya lega sekali kalau sudah dengar Bapak tertawa, karena seisi rumah ini, bahkan seumur hidupku, diisi dengan marah dan pertengkaran antara orang-orang dewasa yang membuat saya takut dan berharap di setiap penghujung hari. Semoga tak ada ribut di sisa hari ini. Semoga saya bisa tidur dengan tenang.
Jika tak pernah saya lihat Ibu memukul anaknya selain saya, saya tak pernah melihat Bapak gemas kepada anaknya yang lain, hanya gemas dengan saya. Setiap ada kesempatan, Bapak menyerang, mengunci tubuh lalu menggelitik dan menciumi saya. Kalau saya belum teriak, kalau saya belum muntah karena pipi saya dijilat, Bapak tidak akan berhenti. Untung, karena terbiasa, tenaga saya untuk melepaskan diri pun menjadi bertambah semakin kuat setiap harinya. Apa ini pelajaran bela diri terselubung, sebenarnya?
Bapak tak malu untuk marah, tak pernah malu juga untuk bertingkah konyol. Dia akan menari, membuat ekspresi lucu dengan wajahnya, menirukan Tukul dan segala macam. Ada-ada saja tingkahnya—kalau saja suasana hatinya sedang baik.
Sebab tak punya kerjaan tetap, sebenarnya, Bapak lebih sering berada di rumah menemani saya ketimbang Ibu yang selalu sibuk dengan urusannya di luar rumah—entah mengajar atau berjualan kue kering.
Namun, saya tahu, Bapak pun mau melakukan apa saja. Memasak, beres-beres rumah, bahkan tak malu meminta makanan atau uang rumah saudara atau kenalannya.
Beberapa kali, Bapak menjadi sopir pribadi Om Ari. Mereka kerap bepergian ke luar kota. Bapak pun pernah mengantar parcel dari rumah ke rumah saat bulan Ramadan. Berawal dari pekerjaan Bapak mengantar parcel itulah, kami bisa pulang kampung saat lebaran tiba. Naik mobil bak. Bapak mengemudi, Mas Gie di sebelahnya, Mas Ar, kemudian Ibu. Saya? Saya duduk di bawah, di kaki Ibu. Mual dan pusing dalam perjalanan tak saya rasakan. Saya senang bepergian bersama seperti ini.
Tujuan kami mudik adalah Mbah di rumah bude saya. Namun, kami tak pernah berlama-lama di rumah Bude karena anak dan cucunya ada banyak. Omong-omong, Bapak adalah menantu kesayangan Mbah karena Bapak orang Jawa. Ketika diberi kabar Bapak sudah tiada, Mbah sangat sedih dan terpukul.
#
Sabtu, 25 Agustus 2007