Kami pindah, tepat di hari ulang tahun saya, seminggu setelah kepergian Bapak. Pertengkaran dengan Tante Cahya kali ini benar-benar membuat Ibu muak. Penyebab pertengkaran hanya diada-ada, mengada-ada. Aslinya, Tante Cahya memang sudah sangat ingin mendepak keluarga saya dari rumah Eyang dan dia merasa saat inilah waktu yang tepat baginya—setelah Bapak tiada.
Mulanya, sebab sepele. Rumah berantakan, sementara masih banyak tamu yang datang melayat, orang-orang datang tak sudah-sudah. Tante Cahya dan Bude mengaku malu jika ada yang datang, tapi rumah berantakan.
“Kalau rumah rapi, biar pun kecil akan jadi indah,” kata Bude, sembari menyapu ruang tamu.
Tambah-tambah, Ibu membeli televisi dari uang melayat. Pikirnya, mungkin, untuk kenang-kenangan. Pikirnya, mungkin, suatu saat TV itu bisa digadai atau dijual kalau sedang butuh. Namun, itu memicu kemarahan Bude dan Pakde. Kami dianggap foya-foya—padahal cuma TV.
Pindahlah kami dari rumah panas itu. Berhubung Ibu masih mengajar di SD, Ibu merasa sanggup menyewa rumah dua lantai yang dua kali lebih luas, lebih nyaman ketimbang rumah Eyang.
Ibu bahkan memboyong Mbah untuk ikut tinggal, menjemputnya dari rumah Bude di Cirebon. Apalagi, Mbah masih punya gaji pensiunan dari almarhum bapaknya Ibu, jadi, mantaplah Ibu mengajak kami pindah. Kami pikir, masa depan kami cerah.
Sedihnya, Mbah mulai pikun. Berkali-kali dia bertanya, Bapak mana, kok belum pulang? Kok nggak kelihatan dari kemarin?
Setiap dijelaskan, pecahlah lagi tangis itu. Tangis kami. Setiap kali Mbah bertanya, setiap kali itu pula kami harus menjawab—mengulang kenyataan pedih.
Di rumah itu, saya dan kakak-kakak punya kamar masing-masing, sementara Mbah dan Ibu tidur di ruang TV. Barang-barang di kamar pertama saya hanyalah sebuah kasur tipis dengan kardus bekas TV tabung yang saya balik dan saya gunakan menjadi meja, sementara bagian dalamnya berfungsi untuk menyimpan pakaian. Sederhana, sedikit memaksakan, tapi saya senang.
Namun, yang jadi masalah, sekolah jadi jauh. Saya jadi malas-malasan pergi ke sekolah, apalagi jika harus naik angkot.
Kenapa?
Karena saya gagap.
Saya takut bilang ‘kiri’ saat harus berhenti. Padahal kalau ketuk-ketuk kaca atau atap sebagai tanda untuk menepi pun tak masalah, tak ada yang marah.
Seringkali, walaupun punya ongkos, saya lebih memilih jalan kaki ke sekolah yang jaraknya tiga kilometer. Separah itu ketakutan saya.
Omong-omong, Bapak dimakamkan di depan SMP saya. Di depan sekolah memang ada area pemakaman. Dengar-dengar, gedung sekolahnya pun dibangun di tanah bekas makam.
Saat pemakaman, hari Sabtu, adalah hari ekskul. Jam pelajaran masih berlangsung. Namun, begitu Bapak mulai dimakamkan, teman-teman dan guru-guru keluar dari kelas, mengikuti proses pemakaman.
Semenjak hari itu, guru Tata Usaha yang terkenal ketus dan jutek jadi baik pada saya. Apalagi, Pak Darnawi. Beliau memeluk saya saat pemakaman. Beliau yang paling gelisah mendapati saya sering bolos dan nilai semakin turun. Beberapa kali, dia sabar menasehati, tapi ada satu waktu di mana dia pun menyerah pada saya.
Saya pun tak tahu mengapa saya begini. Saya yang dulu bersinar di setiap pelajaran, kini meredup tak bersemangat.
#