“Mau nonton apa?”
2 Oktober 2008, di Bekasi Square, saya dan Heru berdiri memandangi poster-poster film di dinding luar bioskop.
“Laskar Pelangi?” Saya balik bertanya.
“Oke.”
Jujur, itu adalah film bioskop pertama saya. Perginya minta izin mau menonton bersama teman, padahal sama gebetan.
Baru kemarin malam kami ketemuan, hari ini kami memutuskan untuk jalan bersama. Begitu banyak kesempatan untuk kami saling mengutarakan perasaan, tapi baru besoknya kami jadian, lewat SMS pula.
3 Oktober 2008 adalah hari jadian kami. Tak ada yang mengutarakan perasaan, hanya mengalir begitu saja. Saya yakin, seorang pria menyatakan perasaan dengan bunga dan cokelat hanya ada di film-film.
Kami bertetangga, tapi Heru lebih sering di Karawang karena bekerja di sana sebagai buruh pabrik. Dia cuma pulang Sabtu-Minggu dan setiap minggunya, salah satu hari liburnya adalah untuk bertemu dengan saya.
Heru sering mengajak saya berjalan-jalan, tapi ada satu waktu dia datang ke rumah dan berkenalan dengan Ibu. Dia sering main ke rumah, sambil bawa makanan. Tidak disetujui pacaran, tapi tidak dilarang juga. Mas Ar dan Mas Gie hanya menerapkan batasan tentang jam berkunjung dan semacamnya.
Seiring berjalannya waktu, kami putus nyambung. Yang jadi masalah biasanya komunikasi dan rasa tidak percaya seperti hubungan jarak jauh lainnya.
Setiap Heru tidak bisa dihubungi, saya terus meneleponnya hingga puluhan kali. Alasannya tak jauh-jauh dari ketiduran, HP ditaruh di loker atau sedang mencuci pakaian karena di Karawang dia mengontrak satu rumah bersama teman-temannya.
Saya curiga bukan tanpa alasan, karena dia masih menyimpan banyak kontak cewek walaupun sudah pacaran dengan saya. Puncaknya, saya menghapus semua kontaknya hingga melarangnya berteman dengan lawan jenis. sayan Facebook-nya pun saya non aktifkan lalu saya buat satu akun baru untuk berdua, namanya Ryenith Lova Love.
Saya pikir, saya terjebak daddy issues. Mulai dari pacaran dengan yang lebih tua hingga sikap saya yang posesif dan takut ditinggalkan.
Tidak punya sosok ayah bukan satu-satunya alasan saya menjadi seperti ini. Ada alasan lain: saya ditelantarkan.
#
“Ibu harus pergi sekarang? Malam-malam begini?” tanya saya.
Posisi saat itu, Saya baru pulang jalan-jalan dengan Heru lalu mendapati Ibu sudah mengemas baju-bajunya dan bersiap pergi. Wanita itu tampak sibuk mengeluarkan baju-baju dari lemari, memilih, untuk memasukkannya ke tas besar.
Waktu itu, saya dan Heru sudah pacaran dua tahun–kurang lebih. Dia adalah pacar terlama sekaligus pacaran yang cukup serius.
Ketika itu, Heru bahkan belum pergi, baru mengantar saya pulang. Jadi, dia tahu, Ibu mau pergi. Ibu bahkan “menitipkan” saya padanya. “Titip Dayu, Her. Ibu mau ke Cirebon.”
“Berapa hari?” Saya melirik Heru sekilas dan dia terdengar mengiyakan permintaan Ibu.