“Matamu bengkak, habis nangisin pacar, ya?” Mbak Nia meledek, ditanggapi gelak tawa oleh yang lain.
“Semalam saya pulang jam dua, Mbak. Syutingnya ngaret,” elak saya, setengahnya benar. Saya memang baru pulang dari studio Trans TV pukul dua pagi, lalu menginap di rumah pacar Mas Ar, Kak May, dan baru pulang ke indekos pagi ini. Saya tak mungkin pulang ke indekos jam dua malam, kan? Bisa-bisa saya diceramahi panjang kali lebar oleh Eyang. Meski begitu, bengkak di mata saya memang karena habis bertengkar dengan Heru. Jadi, tebakan Mbak Nia ada benarnya juga.
“Bayarannya gede ya, jadi penonton bayaran?” Mbak Nana menuang susu dari karton ke dalam gelas bening. Saat saya sampai di indekos, semua sedang sarapan. Begitu melihat saya pulang, Eyang langsung menyuruh menimbrung dan makan. Eyang selalu bangun pukul dua malam sehingga bisa menyajikan sarapan tepat waktu. Cucu-cucu Eyang ada tiga dan satu anaknya yang dokter membuka praktek di rumah pada hari-hari tertentu, sehingga Eyang selalu masak bermacam-macam menu dalam jumlah banyak.
Tugas saya adalah mencuci piring setelah semua cucu-cucu Eyang selesai makan. Nanti menjelang sore, saya akan menghangatkan lauk-pauk yang dan mengganti piringnya dengan piring baru agar bisa disantap untuk makan malam. Saya juga sering membantu Eyang memasak. Darinya, saya belajar hal-hal yang tidak bisa saya pelajari dari Ibu.
“Lima puluh ribu untuk satu acara, Mbak,” jawab saya, seraya memotong ati ampela balado lalu menyuap dan mengunyah sebelum melanjutkan, “Sebenarnya, kalau artisnya datang tepat waktu, kita bisa dapat tiga job sehari. Tapi, kalau kayak kemarin, siang ditelepon, habis isya baru mulai syuting, habislah sehari di satu acara itu saja.”
“Acara apa?” Mbak Nia akhirnya penasaran dan rela mengganti topik mata bengkak saya ke topik ini. Saya menyebutkan salah satu program yang diisi oleh banyak pelawak. Mbak Nia langsung menyela lagi. “Kamu ketawa-tawa terus tepuk tangan gitu dong?”
Saya tertawa, tidak bisa mengelak, karena memang tugasnya hanya begitu saja. Tepuk tangan dan tertawa seperti orang gila. Bonusnya, bisa lihat artis langsung dari jarak dekat. Bagian lain yang paling saya sukai dari pekerjaan itu adalah karena saya bisa dandan dan pakai baju-baju bagus. Tak jarang, saya disuruh duduk paling depan supaya bisa disorot terus. Kak May yang biasa mendandani saya. Untuk baju, saya sering dapat lungsuran dari temannya Mas Ar yang bekerja di dunia hiburan juga.
Menyenangkan bisa punya uang sendiri. Minusnya, saya jadi sering bolos karena jadwal syuting yang tak menentu.
#
Saya senang punya kamar sendiri. Kamarnya pun luas, dilengkapi set tempat tidur, meja dan lemari seperti kamar indekos lainnya. Hanya saja, letaknya memang terpencil, dekat dengan tempat cuci-setrika dan kamar mandi belakang yang terkesan menyeramkan. Kalau malam, hanya akan terdengar suara AC luar kamar Eyang, jangkrik dan suara kukuk burung setiap tengah malam.
Ya, kukuk burung. Setiap tengah malam di atas jam 00.00. Saya tidak yakin itu benar-benar burung peliharaan, karena samping dan belakang rumah Eyang adalah kebun kosong milik tetangga. Namun, saat itu, saya tidak punya waktu untuk takut atau memikirkannya terlalu jauh.
Saya sibuk. Selain jadi penonton bayaran, saya menjadi guru privat Rio, cucunya Eyang yang baru kelas dua. Sebulan digaji Rp200.000. Tentu pekerjaan yang mudah, tapi tanggung jawabnya pun besar. Bu Febby, anak Eyang, berharap nilai-nilai Rio lebih bagus daripada sebelumnya. Saya mengajar setiap malam, tapi kalau malam Minggu, biasanya saya mengajar lebih cepat karena ingin buru-buru malam Mingguan.