2011
“Hei, lo cium bau rokok?”
Pertanyaan itu disambut gelak tawa. Tidak ada yang lucu, mereka cuma menyindir.
“Lagian, apa orang kayak dia berani merokok di sekolah?”
“Mainin cowok aja berani, apa lagi cuma merokok?"
Saya meremas lembar kertas ulangan yang sedang saya baca. Tidak butuh telinga peka untuk mendengar semua ejekan itu, karena mereka mengatakannya jelas-jelas. Seketika, saya pusing. Dada seperti terhimpit batu yang besar.
Tiba-tiba, seseorang menarik saya pergi. Saya bahkan tak sempat menyimpan kertas ulangan dengan benar karena semua sangat mendadak. Kertas putih bernilai 65 itu terbang turun, jatuh di bawah meja.
Dirga terus menarik saya menuruni tangga menuju lantai satu, baru melepas sesampainya di parkiran. Sebelum menaiki Kawasaki Athlete warna hijau, cowok itu melempar helm dan saya menangkapnya dengan baik.
“Mau ke mana?” Saya bertanya, saat Dirga memundurkan motor.
“Cabutlah. Kamu mau seharian disindir-sindir kayak gitu?”
Saya terdiam sebentar, sementara pikiran tertuju pada nilai tadi. Jujur, saya lebih mencemaskan itu ketimbang omongan orang-orang. Nilai terus turun, sementara saya sebentar lagi kelas 12.
“Aku sudah ngecek, Miss Ricka nggak masuk. Habis ulangan gini, kita bebas. Gerbang sekolah saja nggak ada yang jagain.”
Saya menengok arah gerbang sekolah yang terbuka lebar. Ke mana perginya Pak Memet? Apa boleh pergi seperti ini?
Apalagi, waktu razia kemarin, saya ketahuan membawa rokok lengkap dengan pemantiknya. Oh, tidak. Saya bukan takut tidak lulus. Saya hanya muak dan ingin cepat-cepat lulus dari sini. Jangan sampai nilai jelek membuat saya harus mengulang sekolah. Saya ingin cepat-cepat kerja, cari uang sendiri.
“Dayu?” Dirga menyadarkannya dari lamunan.
Setelah menatap Dirga yang mulai tak sabar, saya akhirnya naik, tak lupa memakai helm. Saya memeluk pinggang cowok itu dan mulai merasakan tenang meski laju motor cukup mengebut. Tenang, semua akan baik-baik saja bersama Dirga.
Meski, saya sudah punya pacar dan Dirga jadi yang kedua.
#
“Makasih, ya.” Saya memberikan helm pada Dirga yang mengantar pulang, tepat di depan rumah indekos.
“Besok cabut lagi?”
Saya tertawa. “Aku nggak berani lagi, sumpah.”
“Tapi, besok malam bisa nonton aku futsal, kan?”
Saya mengangguk. Mereka sudah membicarakan itu tadi, di danau Kota Wisata. Rencananya, Dirga dan timnya mau sparing lawan sekolah lain. Biasanya, Dirga jadi kiper, tapi besok dia akan bermain.
“Ya, sudah, aku pulang.” Dirga meraih telapak tangan saya, mengayun-ayunnya pelan. Nanti malam aku telepon. Hmm?”
Saya tersenyum. “Hati-hati.”