Kami benar-benar berpapasan di jalan, bahkan Heru mengejar sambil terus membunyikan klakson. Mulanya, Dirga terus saja memacu motornya hingga Heru berhasil menyalip dan memotong jalan kami. Motor Dirga mengerem mendadak. Saya langsung melompat turun, begitu pun Heru. Pria itu menghampiri, menarik tangan saya , lalu mencium bibir saya secara kasar. Seberapa keras pun saya meronta melepaskan diri, tenaga Heru terlalu besar untuk dilawan.
Ini jalan raya. Di tengah jalan. Praktis, kami menjadi tontonan. Heru sudah kehilangan akal, rupanya.
Dirga menarik Heru kemudian meninjunya hingga nyaris tersungkur. Ketika Dirga hendak menyerangnya lagi, saya menahannya dengan memeluk cowok itu dan membawanya menjauh.
“Ba*jingan!” Dirga mengumpat, menunjuk-nunjuk Heru. Heru berjalan pelan menghampiri kami, meludah, lalu menarik tangan saya lagi.
“Lo masih cewek gue!” Heru menuding saya. “Nggak seharusnya lo jalan sama cowok b*rengsek ini!”
Heru mencengkeram tangan kiri saya dan sayangnya, tangan kanan saya leluasa untuk menamparnya keras-keras.
“Malu-maluin, lo!” Saya menjerit, tak tertahankan lagi. “Lo lihat, sikap lo kayak gimana. Lo harusnya mikir, kenapa gue bisa muak sama lo. Karena lo begini!”
Heru terdiam, menatap benci. Kerumunan kini makin parah, bahkan menyebabkan kemacetan. Sebelum orang-orang menarik kami menepi, Heru menyatakan satu hal.
“Gue cinta sama lo, Dayu. Gue begini karena gue tahu, lo sama dia nggak bakal lama. Nggak ada yang bisa terima lo, seperti gue terima semua kekurangan lo. Sadar, Dayu, lo tuh nggak sehebat itu.”
Dirga maju mengepalkan tangan, tapi sekali lagi, saya menahannya. Saya tertunduk dan pandangan mulai memburam oleh kaca-kaca.
“Jangan dengerin. Cuma banci yang ngomong gitu ke cewek.”
“Tapi, itu kenyataan, Ga.” Saya tersenyum getir, air mata berderai-derai. “Aku terlalu banyak ngerepotin kamu. Aku nggak pantas buat kamu.”
Sesuai keinginan Heru, saya berjalan ke arahnya, meninggalkan Dirga.
“Antar gue pulang,” desis saya kepada Heru.
Seolah mendapat kesempatan, Heru segera naik motor dan membiarkan saya menduduki jok belakang. Sementara motor melaju, saya tak berani mengangkat kepala sedikit pun.
Sesampainya di indekos, saya turun dan berjalan masuk, tapi kemudian, saya sudah memutuskan.