Ketika saya sadar, Dirga buru-buru bangun memeriksa. “Mana yang sakit? Masih sesak?”
“Ini di mana?”
“UKS.”
“UKS?” Saya beringsut bangun.
“Iya, kamu tadi pingsan. Ada yang sakit?”
Saya merasa perut nyeri, tapi lebih baik menggeleng, tidak ingin membuat Dirga cemas. “Kamu yang bawa aku ke sini?”
Dirga tersenyum, memijat-mijat sebelah bahu dengan ekspresi menahan sakit. “Berat banget kamu, tuh. Padahal makannya sedikit.”
Saya meninju pelan perut cowok itu, mendecih sebal. Dirga tertawa, mengacak pelan rambut saya. Lantas, dia menyeret kursi besi, kembali duduk. Dipegangnya lagi tangan saya. “Jangan sakit lagi, hmm? Aku takut.”
Saya memberinya senyum tipis, membiarkan genggaman tangan Dirga. Sebentar, saya menghela napas, lalu menggerutu, “Aku benci banget pelajaran bahasa Indonesia. Kenapa, sih, Bu Erni selalu suruh kita baca? Kayak anak TK.”
Dirga terdiam dan hanya mengusap-usap punggung tangan saya. Dia sudah tahu soal kekesalan saya yang tidak suka disuruh membaca soal, karena setiap tiba giliran membaca, saya akan tergagap-gagap. Parahnya, teman-teman sekelas sudah tahu dan semua kompak diam saat saya membaca, seolah menunggu saya mempermalukan diri sendiri.
“Kayaknya aku pingsan gara-gara itu, deh.”
“Ditambah, kamu jarang makan. Stres juga.”
“Dokter bilang begitu?”
Dirga mengangguk. “Untuk sementara kamu cuma boleh makan bubur. Nanti sebelum pulang, kita beli dulu, ya? Kayaknya tukang bubur di depan masih ada, deh.” Cowok itu memeriksa arloji.
Saya melirik arloji di tangan Dirga dan nyaris tak peduli soal itu. “Kamu nggak marah? Aku–”
“Ssst!” Dirga mendesis. “Kalau mau usir aku, pastikan kamu sembuh dulu. Kamu harus janji makan yang benar, jangan mikir macam-macam dan fokus ujian. Izinkan aku rawat kamu sampai sembuh.”
Saya membuka mulut nyaris protes, tapi Dirga buru-buru membantu saya berbaring lagi.
“Kamu istirahat di sini, aku ke kelas dulu, ya. Jangan bandel.”
“Kalau ke sini lagi beliin es melon, ya,”
“Nggak boleh minum es!”
“Ih!” Saya mendesis sebal, memberengut. Akan tetapi, perasaan ini menyamankan saya. Perasaan diinginkan. Ada yang memedulikan saya. Saya tersenyum memandang langit-langit putih yang terhampar di atas sana.
#
“Kalau sudah selesai, tolong keluar, ya. Ini kan kos putri, jadi, rasanya nggak nyaman kalau ada laki-laki di sini.” Eyang berkata dengan nada ketus. Keresahan itu diungkapkannya setelah Dirga memapah saya sampai kamar. Padahal, saya sudah bilang bisa jalan sendiri, tapi Dirga mencemaskan saya.