“Kamu nggak tahu, ya? Hendra itu sudah punya rumah, punya mobil, kerjanya di Jepang.”
“Terus kenapa?”
“Kamu bakalan hidup enak kalau nikah sama dia, nggak melarat kayak Ibu gini.”
Saya menatap jengkel. Jangankan menikah, kenalan saja nggak sudi!
“Cinta itu nomor dua. Yang penting itu dia suka sama kamu, kamu tinggal ongkang-ongkang kaki saja. Jadilah Nyonya Besar, Dayu.”
“Bu!” Saya membentak. “Kalau Ibu bahas dia sekali lagi, aku pulang. Kalau Ibu segitu pengennya jadi Nyonya Besar, Ibu saja yang nikah sama dia!”
“Kamu ini, kalau dibilangin nggak percaya!” Ibu mendelik, bola matanya itu terasa mengikuti saya hingga masuk kamar mandi. Ini di rumah kontrakan Ibu. Saya menyalakan kran air hingga tak dapat mendengar apa pun di luar sana, termasuk omelan Ibu.
Tak lama kemudian, setelah keluar dari kamar mandi, saya mendapati Ibu sudah berpakaian rapi.
“Pergi lagi?” Saya memilih bersandar di ambang pintu, bersedekap. Pasalnya, selama beberapa hari saya di Cirebon, Ibu selalu pergi dengan teman laki-lakinya. Saya tidak peduli soal siapa Pak Toto, saya hanya kesal karena selalu sendirian di rumah ini. Maksudnya… tidak bisakah Ibu pergi nanti? Setelah saya pulang ke Bekasi.
“Kamu masih punya uang untuk beli makan, kan? Pakailah dulu. Pulang nanti, Ibu baru dapat uang.” Wanita itu menepuk bahu saya seraya berlalu.
Dari jendela kamar ini, saya tahu Corolla merah Pak Toto sudah di depan. Pria paruh baya itu bahkan tidak perlu repot-repot turun untuk menyapanya. Kami sudah berkenalan saat pria itu menjemput Ibu tempo hari. Tidak ada yang spesial. Saya tidak ingin ikut campur urusan Ibu.
Deru mobil pertanda mereka sudah pergi. Saya bergerak mengunci pintu depan, lalu berjalan ke dapur. Perut perih sejak tadi. Saya berjanji kepada Dirga tidak akan telat makan, jadi, saya harus memasak sesuatu sekarang.
Aku harus naik kereta apa kalau mau menyusulmu?
Bunyi telur yang meletup di atas minyak panas menyadarkan saya dari lamunan. Buru-buru, sayamenabur garam ke atas telur dan membaliknya. Setelah telur ceplok matang dan saya meniriskannya, samar-samar, dari luar ada yang memanggil.
“Nok, jajan beli?”
“Iya, Mbok, tunggu!” Saya menyambar piring dan sendok, meninggalkan telur tiris di dapur. Jajanan sore hari lebih menggoda. Kapan lagi bisa makan serabi kinca sore-sore begini? Di Bekasi tidak ada yang jual. Kalaupun ada, tidak ada yang keliling seperti di sini. Itu pun biasanya dibuat dari tepung terigu, bukan tepung beras seperti khas Cirebon. Buatnya pun menggunakan teflon, kalau di sini, dibakar di atas tungku. Hanya saja, ketika dijajakan dari rumah ke rumah seperti ini, serabi sudah matang dan tinggal disiram kuah kinca.
“Ibu nggak jajan, Nok?” Mbok-mbok bakulan memberikan piring berisi serabi dengan kuah kinca terpisah. “Biasanya Ibu suka yang dage.”
“Ya, sudah, sama yang dage dua, Mbok.”
Si Mbok langsung mencapit dua serabi lalu menaruhnya di piring yang saya pegang. “Ibu lagi pergi, tah?”
“Iya. Makasih ya, Mbok.”
“Sama-sama, Nok.”
Mbok bakulan pergi. Saya duduk di teras, menikmati serabi. Saat itulah, pesan dari Dirga masuk. Sebuah foto. Saya meletakkan piring di pangkuan dan memperbesar foto di layar. Tiket kereta.
Aku nyusul kamu sekarang, tulis cowok itu dalam pesannya.
#
Sebenarnya, dulu Heru juga pernah menyusul saat saya liburan di Cirebon, tapi baru bersama Dirga, saya berdebar seperti ini. Dari sebelum magrib, saya terus menerus memeriksa waktu. Saya bahkan sudah mandi dan wangi. Butuh waktu 15-20 menit dari rumah ke Stasiun Prujakan, jadi saya terus mengira-ngira kapan tepatnya bisa berangkat dari rumah.
Setelah banyak gerakan gusar dan tak sabar, akhirnya, saya berpamitan pada Ibu.
“Benar, bisa sendiri?” Ibu mengantarkan saya hingga ke pintu. Dia juga baru pulang dan saya langsung memberi tahunya soal Dirga.