Amigdala: Sari Sekar Dayu

Anita Utami
Chapter #22

DUA PULUH

Saya dalam fase patah hati. Belum bisa terima dan berharap Dirga menyesali keputusannya lalu kembali pada saya. Akan tetapi, kata orang, cowok butuh waktu setidaknya enam bulan sampai menyesal. Dengan bodohnya, saya mempercayai itu. Mau enam bulan atau seribu bulan pun rasanya saya sanggup menunggu.

Untungnya, saya punya teman-teman penulis yang mengantarkan hijrah. Saya punya cara sendiri dalam mengobati patah hati: bersalawat.

Shalaatullaah Salaamullaah 'Alaa Thaaha Rasuulillaah

Shalaatullaah Salaamullaah 'Alaa Yaa Siin Habiibillaah

Tawassalnaa Bibismillaah Wabil Haadi Rasuulillaah

Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allah

Salawat Badar. Saya melantunkannya setiap habis salat, sambil menangis sampai-sampai mukena basah. Semenjak putus dari Dirga pun saya menunaikan salat lima waktu–kewajiban yang tak pernah saya tunaikan dengan benar selama ini.

Saya pun masih merasa takjub dengan cara Allah mengajak saya dekat dengan-Nya. Dengan cara putus cinta? Namun, saya sadar, mungkin saat itu, aku tak punya siapa-siapa untuk cerita selain kepada Allah.

Saya tenang setiap habis menangis dan bersalawat. Saya mulai mengikuti akun-akun hijrah dan menemukan satu dalil yang menyebutkan: dosa akibat tidak menggunakan hijab akan mengalir kepada orangtuanya. Satu langkah keluar rumah tanpa mengenakan hijab, maka satu langkah pula ayah kandungnya akan mendekati api neraka.

Saya tak mau begitu. Saya tak mau Bapak masuk neraka. Jadi, saya beranikan diri berhijab. Saat itu, saya cuma punya satu-dua kerudung. Ibu dulu pernah berhijab, tapi setelah Bapak meninggal, Ibu melepasnya. Maka, setelah saya memutuskan untuk berhijab, Ibu pun pelan-pelan mulai berhijab lagi. Mulanya, Ibu kesal karena ada tetangga yang bilang, “Anaknya pakai kerudung, ibunya nggak.”

#

Saya mulai menulis. Kisah saya dengan Dirga adalah cerita yang pertama saya tulis. Kemudian, saya memberanikan diri untuk ikut berkompetisi dengan menargetkan uang hadiah. Kupikir, saya bisa mencari uang dari menulis. Saya pernah beberapa kali bekerja, tapi entah mengapa, saya tidak bisa bertahan lama. 

Kompetisi yang pertama saya ikuti adalah lomba dari Penerbit Bukune. Saya terlalu percaya diri untuk ikut meski akhirnya bisa ditebak: saya tidak menang.

Dari FanPage Bukune, saya kenal Kak Devi. Dari Kak Devi, aku kenal agensi naskah Kinomedia Writer Academy. Kak Devi menyarankan saya untuk gabung di grup Kinomedia dan menyemangati saya agar berani mengirim naskah ke sana.

Lihat selengkapnya