Enam minggu kemudian, saya mulai merasakan gejala-gejala kehamilan. Reaksi pertama Heru setelah saya beri tahu adalah, “Hamil? Mau dikasih makan apa (anak kita) nanti?”
Itu adalah kehamilan pertama dan yang paling berat hingga janin saya divonis tak berkembang. Ibu dan semua orang meminta saya untuk menyerah. Mereka takut, nantinya akan lahir bayi yang cacat. Namun, selain dibekali obat penguat kandungan oleh dokter, setiap malam pun saya bertahajud dan memohon kepada Allah agar bayi saya selamat.
Dengan berderai air mata, berulang kali saya mengatakan pada Allah, “Ya Allah, sampaikan pada anakku, jangan takut hidup di dunia ini, ada saya dan Engkau yang akan selalu menjaganya.”
Allah Maha Baik, dikabulkannya doa-doa saya. Waktu pemeriksaan berikutnya, janin saya ternyata sehat-sehat saja. Untung, saya pindah rumah sakit untuk mencari pendapat lain.
#
Selama hamil, nikmatnya luar biasa. Mual dan muntah setiap sore masih bisa saya tanggung. Yang membuat tak kuat adalah Heru kembali berulah. Hampir setiap hari, dia main remi dengan teman-temannya. Mulanya, dia bohong. Bilang ingin lembur, tapi tiba-tiba saja ponselnya dimatikan. Saya yang sedang hamil besar, mencarinya ke sana-kemari hingga menemukan dia sedang main remi dengan uang taruhan di tengah-tengah.
Saya mengamuk, tapi sampai mulut berbusa pun, tiada pengaruhnya. Dia main lagi dan lagi. Seringnya, setiap pulang kerja, dia tak langsung pulang. Di situlah saya curiga. Segera saya satroni rumah temannya dan benar saja dia ada di sana. Beberapa kali, dalam kondisi hamil besar, saya mencarinya malam-malam. Jam sebelas malam pun saya rela. Hanya untuk mencegahnya main judi!
Saya adukan semuanya ke Emak. Tahu, apa kata Emak? “Biarin aja, Dayu. Selama nggak ganggu uang gajian, biarin aja. Lu jangan keluyuran malam-malam, ya.”
Hingga pada saat hari gajian dan semua uang tahu-tahu sudah ludes dipakai judi, saya cuma bisa berkesal-kesal dan menangis tanpa suara.
Saya melahirkan secara sesar saking stres. Diagnosis dokter, preeklamsia, komplikasi kehamilan yang bisa berkembang menjadi eklamsia dan berujung fatal. Saya ingat tanggalnya: 11 Juli 2017, Bulan Tsabit lahir.
Sekitar pukul 01.00 malam, saat tidur, tiba-tiba saya merasa ingin muntah. Tidak mual seperti ngidam, hanya ingin muntah. Saya lari ke kamar mandi, tapi tidak keburu. Saya muntah di ruang tamu hingga membangunkan Ibu dan Heru.
Saya kira, hanya muntah sekali, ternyata berkali-kali. Lebih dari sepuluh kali saya muntah, hingga cairan muntah terasa pahit dan berwarna kuning. Merasa tidak biasa, subuh-subuh, saya minta diantar ke bidan. Kebetulan, bidan yang biasa menangani saya tidak bisa dihubungi dan kliniknya pun tak ada orang.
Pergilah saya ke bidan lain dan ternyata sudah pembukaan tiga. Namun, bidan yang ini melihat ada yang tak beres dengan kondisi saya. Kaki terlalu bengkak dan tekanan darah saya tinggi.
“Saya nggak berani, Bu. Ini terlalu beresiko. Mending cek urin dulu di Puskesmas,” kata bidan saat itu, lalu mengeluarkan surat rujukan.
Berbekal surat rujukan, saya tes urin di puskesmas. Kondisi saya sudah gawat darurat, jadi, tidak pakai mengantre. Hasilnya, urin mengandung protein +3. Dioperlah saya ke rumah sakit kemudian dokter menyarankan agar saya menjalani operasi sesar.
Saya tak merasakan takut atau apa pun setelah mengetahui vonis itu. Saya hanya ingin anak saya lahir selamat. Saya pernah mendengar tentang bius epidural, suntikan di tulang belakang yang sangat beresiko, tapi itu tak membuat gentar sedikit pun.
Mungkin saking stres, saya malah senang bisa dirawat di rumah sakit. Ada yang melayani selama saya beristirahat. Saya tak perlu repot-repot masak untuk sementara ini karena makan sudah tersedia, bahkan, mungkin saya akan disuapi. Terdengar gila, ya? Akan tetapi, memang benar itu yang saya rasakan.