BRUK, DUK, DUK, DUK! Sari Sekar Dayu terbangun dan matanya langsung menatap atap plafon yang putih. Menengok, Bulan Tsabit di sebelahnya tertidur pulas seolah tak terganggu suara apa pun. Menatap ke dinding, waktu menunjukkan pukul setengah dua malam.
Ketika dirinya duduk, suara gemuruh itu berubah menjadi ketukan seperti tamu mengetuk pintu tuan rumah. Sari Sekar Dayu mendongak, mendelik kesal, mendengkus keras. Namun, dia mengabaikannya dan turun dari ranjang.
Dia melangkah keluar kamar lalu pandangannya menyapu ruang tengah. Suaminya, Heru, tak ada. Sejak pulang kerja, Heru belum pulang dan malah melipir ke rental PS. Kalau sudah begitu, berapa kali pun Sari Sekar Dayu menyuruhnya pulang, tidak akan digubris. Telepon tidak diangkat, pesan WhatsApp cuma ceklis dua. Wanita itu sudah menyerah berusaha meneleponnya sejak jam sepuluh, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk tidur.
Kebiasaan Heru main PS berjam-jam sudah dilakoni sejak remaja. Kebiasaan Sari Sekar Dayu terus-menerus meneleponnya meski tak diangkat pun sulit dihilangkan. Jika ada penghargaan pasangan suami-istri paling buruk hubungan dan komunikasinya, mereka bisa menyabet piala setiap tahun.
Menekuri ponsel di meja makan dalam suasana hati seperti ini, mengingatkannya pada Dirga. Apa kabar dia? Jika mereka masih bersama, Dirga tidak akan memperlsayakannya seperti ini. Ingat? Dulu, kesepian dan kurang perhatian adalah alasan utama berselingkuh dengan Dirga.
Akan tetapi, Sari Sekar Dayu tak melakukan apa pun, kendati sangat mudah untuk menghubunginya lagi. Wanita itu tahu, banyak hal sudah berubah. Baik perasaan Dirga, maupun perasaannya. Dirinya hanya rindu perasaan aman saat dicintai dan dipedulikan, bukan berarti rindu orangnya. Mengingat bagaimana dulu cowok itu meninggalkannya saja sudah membuat perasaannya mendadak janggal.
Sari Sekar Dayu tertawa nelangsa. Lagipula, apa Dirga akan tetap menyukai penampilannya sekarang? Tubuh ibu-ibu tidak lagi sama dengan tubuh anak gadis.
Setelah mengecek ponsel, wanita itu duduk di meja kerja, membuka laptop, lalu kemudian jari-jarinya menari di atas papan ketik, menciptakan kata demi kata menjadi cerita. Hingga hampir subuh, wanita itu berkutat dengan laptop tua pemberian Mas Ar, sambil sesekali menyeduh susu untuk Bulan Tsabit, menyeruput kopi hitam dan melupakan kegundahan tentang suaminya yang belum juga pulang.
Sekarang hari Sabtu, suaminya libur, jadi, penuh dendam, Sari Sekar Dayu mengunci diri di kamar untuk tidur, meninggalkan Bulan Tsabit di ruang tengah bersama papanya yang baru pulang jam empat pagi. Pria itu sedikit terkejut mendapati istrinya terjaga pukul segitu dan cengar-cengir padanya seperti sinting.
Wanita itu benar-benar tidak peduli pada apa yang akan terjadi; mau anaknya menangis atau berak, dia berniat tidak akan membuka kamar. Pintu dikunci, telinga ditutup bantal, ditemani rasa kantuk menyerang–sungguh nikmat. Namun, Heru seolah paham salahnya, tidak menganggu istrinya walau mengetuk pintu sekalipun. Sari Sekar Dayu mendecih, andai suaminya itu bisa sama sadarnya setiap selesai berjudi.
Getar ponsel perlahan-lahan menyadarkannya dari kembara mimpi. Sial, dirinya lupa mematikan getar, padahal sudah membisukan nada deringnya. Sebuah nama teman penulisnya muncul di layar dan langsung membuatnya terduduk. Tumben?
“Ya, Mbak Mei?” Setelah menjawab, dia berdeham, sadar suaranya serak.
“Kok suaramu lemas pagi-pagi begini?”
Dia meringis. “Semalam begadang, Mbak. Tumben banget ini?”
“Aku ada job ghost writer, tujuh juta per naskah. Mau?”
“Mau, Mbak, mau!”
“Tapi, lima ribu kata per hari. Total 150 ribu kata.”
Sari Sekar Dayu tertegun, menengok ke pintu kamar yang terkunci, mendengar ocehan Bulan Tsabit, samar-samar. Apa saya bisa?
“Outline sama sinopsis sudah ada, tinggal tulis saja. Bisa, dong?”
Sari Sekar Dayu mengangguk semangat. “Bisa, Mbak, bisa!”