Sari Sekar Dayu mencekik anaknya sendiri. Bulan Tsabit, anak berusia dua tahun itu sudah melihat malaikat maut melayang-layang di belakang kepala mamanya, menangis untuknya karena harus mencabut nyawa anak semuda itu, yang sungguh tidak tahu apa-apa. Namun, malaikat maut akan melakukannya sehalus mungkin. Pelan-pelan, tak menyisakan rasa. Tidak seperti mamanya yang mencekik sekuat tenaga, hingga buku-buku jari memutih, kuku-kuku menancap pada leher mungil itu, menekan dalam-dalam.
Sari Sekar Dayu lelah pada semua hal. Sari Sekar Dayu ingin menyerah. Dikiranya, membunuh anak sendiri akan menyelesaikan masalah. Namun, melihat wajah kesakitan itu, mata yang berair dan ketakutan, membuat Sari Sekar Dayu sadar. Apa yang kulakukan?
Wanita itu melompat dari tubuh kecil yang terbaring di karpet, mengesot ketakutan seperti melihat piton raksasa dan menjauh. Bulan Tsabit terbatuk-batuk. Dia menangis, lalu berlari memeluk mamanya, sementara Sari Sekar Dayu tercenung dengan air mata mengalir deras.
Bulan Tsabit tidak tahu, mamanya kesetanan dan baru saja berusaha membunuhnya. Bocah itu tidak tahu, dirinya terancam bahaya. Harusnya dia lari sejauh mungkin, jangan terlihat oleh mamanya lagi, jangan sampai mamanya punya kesempatan untuk melukainya lagi.
Yang dilakukan, dirasakannya, justru sebaliknya. Bocah itu memeluk sangat erat. Baginya, Sari Sekar Dayu adalah pelindungnya selama ini. Yang tergopoh-gopoh mendatanginya setiap kali dirinya menangis, yang memeluknya tiap kali ketakutan dan hanya mamanya yang mengulurkan tangan setiap kali dirinya terjatuh. Bulan Tsabit hanya tahu itu. Bulan Tsabit hanya percaya perasaannya.
Maka, sambil merutuki diri sendiri, Sari Sekar Dayu balas memeluk anak itu dan mengucapkan beribu kata maaf.
“Maafin Mama, Dek. Maafin Mama....”
Bulan Tsabit melihat malaikat maut berbalik pulang. Penuh rasa ketakutan, bocah itu berharap tidak akan pernah melihatnya lagi.
#
Tirai beludru merah ditarik membuka, menampilkan Sari Sekar Dayu duduk di tengah-tengah panggung persegi panjang bercahaya temaram, lampu putih menyorotnya dari langit-langit panggung.
“Aku ini iblis. Aku ini monster,” racaunya dengan suara gemetar dan mata menerawang, berkaca-kaca.
“Aku mencekik anakku hingga nyaris mati kehabisan napas. Pernah menendangnya hingga terjerembap dan hidungnya merah. Aku sering memukul, meneriaki, membentak-bentaknya hanya karena hal-hal sepele, seperti karena dia menolak tidur siang atau tidak mau makan. Aku melampiaskan setiap marah dan kesalku padanya.
“Aku monster. Tapi, aku juga seorang Ibu. Setiap waktu aku menyesal, merutuki diri sendiri. Kucoba cari-cari, di mana salahnya? Apa yang membuatku begitu gila? Padahal, dia anak yang kulahirkan dengan mempertaruhkan nyawa. Dia anak yang kuminta pada Allah, agar lahir dengan selamat. Aku berjanji akan selalu melindunginya.”
Sari Sekar Dayu tertawa miris, menyeka sudut matanya basah.
“Persetan, Sari Sekar Dayu. Lindungi apa? Dia hidup dalam gemetar dan ketakutan. Dia mengigau dalam tidur, setiap kali habis dibentak-bentak.”
Wanita itu menangis, menggigit bibir menahan teriak, memegangi dada yang terasa nyeri. “Aku sayang anakku. Demi Allah, Mama sayang kamu, Nak. Tapi, kenapa begini? Kenapa Mama tidak pernah bisa mengendalikan marah?”
Panggung dikuasai air mata. Isakannya, tangisannya. Lantas, wanita itu menyeka wajahnya kasar-kasar, mengelap air mata.
“Di tengah-tengah perasaan yang semrawut, aku seperti pernah melihat semua ini. Anak yang dipukuli, anak yang dibentak-bentak. Rasanya, aku pernah mengalami semua itu.”
Sari Sekar Dayu terdiam, lalu bibirnya mengucap seseorang.
“Ibuku—Nengsih. Dia juga sering memukuliku, mengurungku di kamar mandi hingga pingsan, mengata-ngataiku, menjadi racun dalam hidupku. Aku menikah, mempunyai anak, tanpa tahu masih mendekap luka batin yang kemudian kuteruskan ke anakku.
“Aku begini karena luka. Luka yang amat banyak dan terus mendera hidupku sejak dari kecil. Selalu ada luka tertinggal dari setiap masalah yang pergi. Jika itu membekas di dada, rasanya sesak napas. Jika membekas di kepala, rasanya pusing. Semakin berliku hidupmu, semakin menumpuk pula luka itu. Seperti timbunan sampah. Bau. Busuk. Bikin sesak napas dan bikin pusing.”
Selesai dia mengatakannya, riuh rendah suara penonton menjelma menjadi tepuk tangan nan menggema. Dasar orang-orang gila, batin Sari Sekar Dayu.
#
Sari Sekar Dayu mengusap kepala Bulan Tsabit dengan rasa pedih dan sesak di dalam hati. Anak itu tertidur pulas setelah lelah menangis. Dirabanya leher mungil itu. Masih merah. Sari Sekar Dayu bersandar di kaki ranjang, menangis lagi. Untuk sesaat, kamar tidur hanya dipenuhi tangis tanpa suara dan rasa penyesalan menguar dari punggung wanita itu bagai asap abu-abu pekat yang terus menaunginya dalam waktu lama.
Sari Sekar Dayu berdiri, melangkah lunglai ke kamar mandi untuk mencuci muka. Air sedikit menenangkan jiwanya. Lalu, dia keluar kamar untuk minum. Dilihatnya Nengsih bernyanyi-nyanyi di dapur, menganggap sekitarnya sedang konser.
Kini, Nengsih tinggal bersama dirinya, Bulan Tsabit dan Heru. Dekat bau tahi, jauh bau wangi. Begitulah kira-kira hubungan Sari Sekar Dayu dan Nengsih.