“Mbak, masih lama? Anakku mau pipis.”
Sari Sekar Dayu mengetuk pintu kamar mandi. Suara tangis bayi melengking dari dalam. Kebisingan tiap pagi, Nevan selalu menangis kala mandi.
Yuni tidak menjawab. Padahal bisa teriak. Bulan Tsabit berjengit-jengit menahan pipis. Sari Sekar Dayu berdecak lalu menggedor-gedor pintu. “Mbak? Ayo, Mbak. Bulan Tsabit sudah mau ngompol.”
Bulan Tsabit lulus toilet training sejak umur satu setengah tahun, sudah tidak pakai popok, tidak ngompol, asal selalu pipis sebelum tidur dan setelah bangun. Mungkin karena sudah sunat. Terpaksa. Bulan Tsabit didiagnosis fimosis pada usia 13 bulan dan harus disunat.
Pintu kamar mandi terbuka. Yuni keluar sambil menggendong Nevan dalam balutan handuk dan tak henti-hentinya menangis. Wajah ipar Sari Sekar Dayu itu memberengut marah, ditekuk dua belas.
Sari Sekar Dayu mengernyit melihat busa-busa di rambut Nevan. “Mbak, Nevan belum dibasuh?”
Yuni diam saja, berdiri menunggu sambil memandangi Bulan Tsabit masuk kamar mandi. “Cepetan, Yan. Nevan belum selesai.”
Astaga.... Sari Sekar Dayu tidak habis pikir. Kenapa tidak dibilas dulu? Kalau kena mata kan perih. Harus ya, dibawa keluar dalam kondisi seperti itu supaya Sari Sekar Dayu lihat?
“Pakai celana, Mah.” Bulan Tsabit keluar. Sari Sekar Dayu buru-buru menggiringnya menjauh. Yuni masuk kembali membawa Nevan, sambil membanting pintu kamar mandi. Sari Sekar Dayu memejam gemas. Sudahlah menyebalkan, ditambah banting-banting pintu, lagaknya sudah kayak di rumah sendiri saja.
Melewati dapur, Sari Sekar Dayu menyipit mendapati Nengsih berlenggak-lenggok, menari seraya memejam dan menaburkan kulit bawang. Mungkin dalam kepalanya terngiang-ngiang musik Sintren. Mungkin, dalam kepalanya, dapur yang berantakan ini adalah panggung yang dirindukannya dan kulit-kulit bawang itu adalah kelopak bunga. Sari Sekar Dayu menggigit bibir dan pergi dengan berkesal-kesal, mendaratkan bokongnya di kursi teras. Kepalanya pusing. Rumahnya bukan lagi tempat yang nyaman. Matanya perih ingin menangis. Ingin sekali hidup seperti dulu, hanya berdua Bulan Tsabit dan Heru. Namun, Sari Sekar Dayu masih punya hati untuk tidak membiarkan keluarganya terlunta-lunta di jalanan.
Lepas dari niatan Nengsih untuk membantu merawat Nevan, Ar dan Yuni pun tengah dalam kondisi perekonomian yang sulit akibat pandemi. Ar dirumahkan dan usaha roti goreng yang digeluti Yuni sebagai sampingan pun harus gulung tikar.
“Lagi apa?” Ar duduk di sebelah Sari Sekar Dayu.
Wanita itu tersenyum tipis menanggapi sapaan kakak pertamanya itu. “Duduk aja, Mas. Gerah di dalam.”
“Aku dan Yuni buat kamu tidak nyaman di rumah, ya?”
“Tidak, Mas.” Sari Sekar Dayu buru-buru menyela. “Biasa saja, kok. Bulan Tsabit malah senang ada temannya.”
Ar tahu, Sari Sekar Dayu bohong. Nevan belum bisa diajak main. Yuni pun sering memarahi Bulan Tsabit kalau-kalau bocah itu berisik saat anaknya tidur. Yuni sering mengatai Bulan Tsabit anak nakal, bahkan pernah berucap di depan Sari Sekar Dayu, berharap semoga saat besar nanti Nevan tidak seperti Bulan Tsabit.
Sari Sekar Dayu menangis diam-diam di kamarnya setelah mendengar Yuni bicara seperti itu. Apa yang salah dengan Bulan Tsabit hingga Yuni perlu mengucap ‘amit-amit’?
Ar menjulurkan tangan, membelai rambut panjang Sari Sekar Dayu. “Maafin Mas, ya. Doakan Mas biar cepat bisa menyelamatkan keluarga Mas dari kesulitan ini.”
Sari Sekar Dayu diam saja, sibuk menggigit bibir, menahan tangis. Setelah Ar masuk, barulah tangis itu pecah, meski dalam bisu dan tanpa suara. Tangis seperti itu yang lebih sesak.
#
“Dayu, Emak mau bicara,” panggil Emak, mertua Sari Sekar Dayu, sore hari itu. Heru sedang kerja. Di rumah hanya ada Nengsih, Yuni dan Ar.
Sari Sekar Dayu duduk di samping mertuanya itu. Dia kenal raut wajah itu. Gurat-gurat cemas yang keluar tiap kali merasa ada yang tidak beres dengan rumah tangga Sari Sekar Dayu atau Sari Sekar Dayu itu sendiri.
“Kakakmu sekarang tinggal di sini?”
Sari Sekar Dayu tertegun. Matanya tidak berkedip, memandang lurus dan takut-takut. Dia hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaan mertuanya.
Emak menghela napas. “Sudah izin sama Heru?”
Sari Sekar Dayu mengangguk lagi. “Cuma sementara, Mak—“
“Sekarang makin susah cari kerja, Lir,” sela Emak, seolah tidak mau dengar ‘permohonan belas kasih’ yang Sari Sekar Dayu sodorkan. “Apalagi kakakmu cuma lulusan SMA.”
Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Sari Sekar Dayu. Andai Emak tahu, Ar bukan lulusan SMA formal dan hanya mempunyai ijazah paket C, pastilah nada sinis itu makin terdengar jelas.
“Kasihan Heru. Dia yang menanggung semuanya, kan?”
“Tidak, Mak.” Sari Sekar Dayu buru-buru menyela. “Untuk sehari-hari, Mas Ar masih punya tabungan.“