Amigdala: Sari Sekar Dayu

Anita Utami
Chapter #27

Babak 4: Orang-orang dengan Trauma Sama Berkumpul Bersama

Panggung 1.

Tirai beludru merah ditarik membuka, menampilkan panggung persegi panjang bercahaya kuning temaram.

Enam pria kurcaci berbaju putih-hitam yang  semuanya cebol dan gempal, memasuki panggung, meneriakkan yel-yel yang tak jelas liriknya. Mereka menggotong ranjang besi tua yang sering muncul di film-film angker dan membentangkannya di sisi kiri panggung. 

Sudah.

Setelah para kurcaci itu pergi, tersisa ranjang besi tua.

Lantas, para kurcaci itu datang lagi, meneriakkan yel-yel lagi, kali ini menggotong wanita tua berambut putih berdaster biru, lalu meletakkannya di ranjang–setengah melempar.

Begitu saja.

Para kurcaci itu pergi, tersisa wanita tua, menatap langit-langit panggung dengan lumpuh. Dia tak bergerak, tak beringsut–tak apa pun. Dulu, hingga usia 70-an, dia sangat sehat dan jalannya gagah, sampai orang-orang mengira usianya masih 30-an. Akan tetapi, suatu hari setelah jatuh di kamar mandi, dia menjadi seperti itu.

Semenit terlalu lama. 37 detik berlalu. 

Seorang perempuan berusia 28-an masuk, menyeret bangku kayu di belakangnya hingga menimbulkan bunyi derit yang panjang, lalu berhenti. Perempuan itu membiarkan bangkunya di sisi kanan panggung.

Wanita tua yang terbaring di ranjang, rambutnya putih, dasternya biru, bawahnya agak tersingkap, tapi dia tidak bisa membenarkannya sendiri.

Perempuan yang berdiri di depan bangku, memakai terusan putih selutut di depan dadanya menggantung papan dari kardus bertuliskan: Sari Sekar Dayu, mukanya tidak enak.

Seorang kurcaci masuk dengan terburu-buru, membawa sebuah kertas, membuat kertas itu berkibar di tangannya, saking terburu-buru.

Dia menggantungkan tali rafia dari papan kardus itu ke sisi ranjang hingga dari depan terbaca dengan jelas tulisannya: Nengsih.

Setelah selesai melakukan tugasnya, pria kurcaci itu berlari pergi, menghilang di balik panggung. Sari Sekar Dayu  bersedekap, mendengkus kasar karena sikapnya.

 Datang lagi seorang kurcaci.

“Apa lagi?” Sari Sekar Dayu menahan geram.

Kali ini, kurcaci itu datang dengan kain tersampir di lengannya. Dia menyengir ke arah Sari Sekar Dayu, lalu gegas menyelimuti Nengsih dengan kain dari lengannya. Setelah selesai, dia mengacungkan tanda ‘OK’ ke Sari Sekar Dayu, lantas menghilang di balik panggung.

Sari Sekar Dayu berjengit jengah, menghela napas lagi.

Lalu, dia mengendus-endus.

“Ibu berak, ya?”

“Nggak!” Terdengar jawaban dari atas ranjang.

“Oh, kirain.”

Diam lagi.

“Anakmu mana?” 

Sari Sekar Dayu berdecak, mengibaskan tangan, tak peduli. “Aku kunciin di kamar mandi, aku matiin lampunya, biar tahu rasa!”

“Teganya, kamu. Buka! Buka, nggak?” Nengsih mengancam dan nyaris kehilangan kendali, tapi dia memang tak bisa mengendalikan apa-apa, kecuali perasaannya, suaranya dan matanya.

Sari Sekar Dayu tertawa, merasa geli atas ucapan ibunya.

“Ibu juga dulu begitu ke aku,” tuduh Sari Sekar Dayu, mata mendelik, tanpa tedeng aling-aling. “Aku dipukulin, dikurung di kamar mandi. Aku nggak pernah, tuh, lihat Mas Ar atau Mas Gie dipukul sama Ibu. Kenapa, Karena Ibu cuma benci sama aku? Ibu pernah gugurin aku dalam kandungan, kan?”

“Dayu!” Nengsih teriak, tak dapat menyimpan kekesalannya lebih lama lagi. “Istighfar, kamu. Istighfar!”

Sari Sekar Dayu tertawa lagi. Dengan gaya dibuat-buat, perempuan itu mengelus-elus dada sendiri lalu berujar, “Astagfirullah, astagfirullah al-adzim.” Sambil pura-pura menatap iba kepadanya ibunya itu.

Lihat selengkapnya