Panggung 3.
“23 April 1961, Ibu lahir. Beberapa hari setelah lahir, Mide (Mimi Gede–basa Cirebon), ibunya Ibu, gendong Ibu malam-malam, mau dibawa dari Indramayu ke Kuningan. Di jalan, Mide ketemu Mbah Kakung lagi ngobrol sama tukang becak.
“Ditanyalah Mide. ‘Mau ke mana malam-malam begini bawa-bawa bayi?’ Mide bilang, mau ke Kuningan, ke rumah saudara, mau kasih bayi ini.
“Mbah Kakung tanya, kenapa mau dikasihin ke orang? Mide jawab, ‘Bapaknya mau kawin lagi, saya nggak sanggup besarin sendirian’.
“Singkat cerita, diajaklah Mide ke rumah Mbah Kakung untuk ketemu sama Mbah Putri. Mereka kemudian minta bayi itu untuk diurus, dibesarkan, dirawat seperti anak sendiri. Lalu, karena mungkin Mide lihat Mbah Kakung ini orang terpandang, anggota polisi, ada penghargaan sama foto-foto dipajang di rumah itu, jadi Mide mau menyerahkan Ibu.”
“Ibu tahu cerita itu dari mana?”
“Waktu Ibu udah punya Gie, Mide datang. Di depan Ibu, Mide ngaku kalau dia ibu kandungnya Ibu.”
“Ibu ada trauma ditelantarkan, diabaikan, tidak diinginkan. Itu juga yang kualami,” sela Sari Sekar Dayu, setengah menyindir.
Nengsih terdiam, meresapi entah apa. Bola matanya bergerak-gerak, seperti memikirkan sesuatu. “Bapakmu nggak ninggalin apa-apa, Dayu,” katanya, kemudian.
Hening lagi. Nengsih menerawang lagi, matanya.
“Dulu Ibu serba ada. Dibeliin yang mahal-mahal. Setiap Minggu selalu ada daging di rumah. Waktu merantau kuliah pun, Mbah Putri selalu kirim makanan-makanan kering. Ibu disayang, walaupun cuma anak angkat.”
“Terus, kenapa mau nikah sama Bapak?”
“Waktu belum nikah, Bapakmu nggak nganggur. Kerjanya di Offshore Drilling, ngurusin minyak sama gas.”
“Jatuh melarat setelah lahir aku?” Sari Sekar Dayu tertawa nelangsa.
“Nggak.” Nengsih menanggapi dengan cepat. “Disuruh keluar sama Eyang kamu.”
Nada keduanya meninggi, lalu kini hening sejenak. Pria kurcaci masuk, memberikan minum untuk Sari Sekar Dayu.
Sari Sekar Dayu menenggak minumnya hingga tandas, lantas memberikan gelas bening kosong itu kepada pria kurcaci untuk dibawa pergi.
“Mbah Kakung sayang banget sama Ibu. Sedihnya, waktu Ibu nikah, Mbah Kakung cuma bisa terbaring di tempat tidur karena sudah sakit parah. Sebulan setelah Ibu menikah, Mbah Kakung meninggal.
“Bapak yang nggak punya Bapak seumur hidupnya, mengganggap Mbah Kakung sudah seperti ayah sendiri. Bapak nangis jerit-jerit, meraung-raung seperti anak kecil.”
“Ibu nggak nangis?” Sari Sekar Dayu menyindir lagi ibunya yang dingin seolah tak punya hati.
“Nangis. Tapi, Mbah Kakung sudah nggak sakit lagi, sudah nggak tersiksa lagi, jadi, Ibu juga ikhlas.”
“Terus, setelah nggak ada Mbah Kakung, Ibu digebukin sama Mbah Putri kayak Ibu pukulin aku?”
Nengsih diam sebentar, matanya tak berkedip menatap anaknya itu lalu menghela napas karenanya.