Tirai beludru merah ditarik membuka, menampilkan panggung persegi panjang bercahaya kuning temaram dengan latar warna putih.
Seorang pria memasuki panggung dengan tangan terikat tali tambang dan menggunakan papan nama dari kardus bertuliskan: Heru.
Ketika wanita muda yang menggunakan papan nama dari kardus bertuliskan Sari Sekar Dayu memasuki panggung dengan mengesot, Heru menoleh, memperhatikan.
Dia mengenakan terusan putih, rambutnya panjang. Kalau ini panggung horor, orang-orang bisa mengiranya suster ngesot komplit dengan papan nama. Dia membawa–entah apa–di tangannya, hingga benda itu ikut terseok-seok di lantai panggung.
Setelah mengesot sampai tengah-tengah, Sari Sekar Dayu berdiri. Dia membungkuk untuk membersihkan tulang keringnya dari debu panggung. Satu tangannya menggenggam buntelan kain warna putih yang di dalamnya merembes cairan merah seperti darah segar.
Dia memberikan buntelan itu pada Heru, mengangkatnya tinggi-tinggi. “Aku habis ke psikiater. Dada saya dibelek dan ini traumaku. Aku berikan padamu karena kamu yang menyebabkan trauma ini.”
Heru mengernyitkan hidung dan berpaling kebauan. Buntelan kain itu benar-benar membusuk dengan satu-dua lalat terbang mengelilinginya.
“Apa psikiater membedah orang?” tanya Heru. “Setahuku, mereka cuma melakukan konsultasi.”
“Kamu tidak baca di Google? Ada psikobedah–bedah saraf untuk pengobatan gangguan mental.”
“Kenapa kasih ke aku?”
Sari Sekar Dayu terkekeh. “Kamu sepertinya tidak peduli soal psikiater membedah orang atau tidak. Kamu sama sekali tidak peduli, persis seperti yang kamu lakukan selama ini.”
Heru berdecak, tampak bosan dengan ini.
“Kamu terus berjudi seperti orang gila. Aku tahu, kamu bekerja keras mencari uang. Tapi, alangkah baiknya jika kerja kerasmu itu untuk anak-anakmu. Sejuta-dua juta, lima juta–habis begitu saja. Mending buat makan makanan enak dan beli baju yang bagus. Tak tahukah kamu? Anak kita diejek tetangga karena bajunya dekil!”
Sari Sekar Dayu mulai marah-marah dan tak ada yang bisa menghentikannya. Heru cuma bisa diam, tapi sorot matanya sama sekali tak merasa salah.
“Bukan cuma judi, kamu juga kecanduan PS, Mobile Legend dan rokok. Setiap libur main PS dari siang sampai pagi, beberapa kali malah nggak pulang. Main Mobile Legend setiap saat, sampai menghabiskan bergelas-gelas kopi dan berbungkus-bungkus rokok. Kalau dikumpulkan, waktu yang kamu habiskan untuk main game itu sudah cukup untuk membesarkan seorang anak.
“Rokok! Kalau tak ada rokok, marah-marah, cembetat-cembetut. Ingat waktu aku nggak mau kasih uang untuk beli rokok? Kamu siram wajahku dengan air minum!
“Bicaramu kasar. Kalau aku tidak masak, tidak buatkan kopi, tidak setrika baju, kamu marah, bentak-bentak, banting-banting. Padahal kamu sendiri nggak pernah bantuin aku, sekali pun!”