Amigdala: Sari Sekar Dayu

Anita Utami
Chapter #30

Babak 5: Seperti Musim Gugur di Kanada

Sari Sekar Dayu menatap sebutir tablet Renaquil di telapak tangannya dan tersenyum. Sebelum menenggaknya, wanita itu memotek obat penenang itu demi mengurangi dosisnya dari satu menjadi setengah miligram. Tentu saja, tak lupa, dia mengucapkan bismillah. Larut sudah ke dalam tubuhnya. Disimpannya setengah lagi untuk besok malam.

“Jangan ketergantungan obat, nanti ginjalnya kena,” pesan Nengsih, mengingat hampir setahun anaknya itu terapi obat.

“Nggak ketergantungan, Bu. Dokter juga sudah mengurangi dosisnya dari satu miligram jadi setengah miligram. Malah, ada obat yang sekarang sudah nggak diminum sama sekali. Nanti, lama-lama, Dayu sudah nggak perlu minum obat lagi.”

“Kapan itu?”

“Kalau sudah sembuh.”

“Tahu dari mana sudah sembuh? Kalau tumor kan ketahuan, kalau sudah sembuh berarti tumornya sudah nggak ada. Kalau depresi?”

“Ibu memang nggak lihat perubahanku?”

Sari Sekar Dayu memang menjadi lebih tenang, bahkan tak pernah lagi marah berlebihan kepada Bulan Tsabit. Kendati cuma sedikit perubahan yang kentara, tapi, di dalam diri Sari Sekar Dayu, perubahannya benar-benar luar biasa.

Selain Renaquil, dokter juga meresepkan Setraline untuk menyeimbangkan hormon serotonin dalam otak yang mengatur suasana hati. Dulu, dia juga diresepkan Risperidone, tapi dokter menghentikannya secara bertahap karena nafsu makan dan berat badannya terus meningkat.

Sudah cukup bahas obatnya, sekarang, dia naik ranjang lalu merebahkan tubuh telentang. Langit-langit putih di atasnya tampak tenang dan ganjil sekaligus, mengingat dulu dirinya sangat terganggu dengan kehadiran bocah yang dikurung di atas sana, tapi sekarang semuanya baik-baik saja.

Sayup-sayup, dia terlelap. Besok dirinya harus mengantar Bulan Tsabit ke TK untuk hari pertamanya.

Anaknya itu kini sudah berusia lima tahun, sudah tak mengedot susu, sudah hapal abjad dan beberapa kosa kata dalam bahasa Inggris. Meski belum bisa baca, tapi dia suka sekali menulis, menirukan lenggok demi lenggok huruf dengan pensil dalam genggam jemari mungilnya.

#

Saat sepertiga malam, Sari Sekar Dayu bangun dengan takjub karena sebelumnya dia hanya akan terbangun saat azan subuh berkumandang. Tubuhnya mendengarkannya. Dosis kecil Renaquil membuatnya tertidur pulas, tapi tidak teler.

Selesai tahajud, dia menaruh perlengkapan sekolah Bulan Tsabit di satu tempat yang sama supaya tidak ada yang tertinggal, kemudian membuka Chromebook dan menulis artikel untuk salah satu platform agen travel terbesar di Indonesia.

Dirinya sungguh malu, lantaran Allah selalu memberi jalan untuknya, sementara ibadahnya begitu-gitu saja. Karir kepenulisannya membaik. Tak cuma sering mendapat job, dirinya pun beberapa kali memenangkan kompetisi bergengsi.

Diam-diam, dia punya tabungan yang orang lain tak tahu, terutama Heru. Siapa yang akan mengira seorang ibu rumah tangga sepertinya bisa mendapatkan penghasilan sendiri? Nyaris tidak mungkin, tidak ada yang mengira.

Sebelum memutuskan untuk ke psikiater, dirinya sadar harus sembuh dan sehat. Setelah semakin pulih dan Heru tak juga berubah, dia sadar, dia harus menyimpan uang sendiri untuk berjaga-jaga kalau-kalau pernikahannya tidak bisa diselamatkan atau semacam itu. Satu tekadnya, dia tidak akan menggunakan tabungan itu untuk membayar hutang judi Heru. Tidak akan pernah.

Lihat selengkapnya