Hari ini hingga beberapa hari ke depan, Sari Sekar Dayu dan Bulan Tsabit masih diantar Heru ke TK. Nanti, rencananya, rumah kontrakan baru mereka akan lebih dekat dengan TK dan zona sekolah lainnya–sangat dekat, malah.
Sebelum berangkat, Heru menyempatkan diri untuk mengantar anaknya itu hingga melewati gerbang TK.
“Foto dulu, dong,” katanya, mengarahkan kamera ponsel membidik Bulan Tsabit. Bocah TK berseragam putih-kuning dengan kerah pelaut itu langsung bergaya.
Sari Sekar Dayu tertawa menggodanya, karena anaknya itu tampak bersemangat sekaligus tegang. “Santai dong, Ganteng!”
Bel berbunyi, barulah Heru berangkat kerja. Salah seorang guru dengan toa di tangannya mengajak anak-anak menggemaskan itu untuk berbaris di lapangan. Seperti melihat piyik ayam berwarna kuning yang berlarian.
“Nungguin anak juga, Mbak?” Sari Sekar Dayu memberanikan diri menyapa wanita di sebelahnya, yang tampak sibuk mengabadikan momen hari pertama sekolah itu dengan ponselnya.
“Iya. Mbak nungguin kelas berapa?” Dengan sopan, wanita itu menurunkan ponsel demi bisa menjawab pertanyaan Sari Sekar Dayu.
“B3. Mbak?”
“Sama, dong! Gurunya Bu Hasanah, kan?”
Dalam waktu singkat, keduanya menjadi akrab. Setiap mengantar-jemput, Sari Sekar Dayu mengobrol dengannya, bahkan dengan wali murid yang lain.
Suatu hari, setelah mengantar, alih-alih pulang, dia dan ibu-ibu lain makan bakso di depan TK. Hari-hari berikutnya pun begitu, hingga tercetus rencana untuk kumpul setiap hari Sabtu. Sari Sekar Dayu bergabung, tapi kadang kala, tidak. Meskipun menyenangkan, tapi baginya batasan tetap perlu diterapkan. Lagipula, dirinya masih kesulitan untuk mengobrol dengan lancar. Kalau berkumpul sekali pun, dia lebih banyak diam, tahu-tahu ikut tertawa, tahu-tahu berfoto.
Terpenting, Bulan Tsabit punya teman. Terpenting, Sari Sekar Dayu bisa tersenyum melihat perkembangan anaknya itu. Bulan Tsabit selalu tampak lebih dewasa dibanding teman-temannya dan ketika kelulusan, anak semata wayangnya itu berhasil menyabet piala sebagai Murid Berprestasi.
#
Sudah mau dua kali lebaran di kontrakan baru. Sari Sekar Dayu hanya akrab dengan tetangga kiri dan kanan rumah, sementara tetangga lain hanya menyapa seperlunya saja.
Lebih baik begini, kan? Tidak ada lagi orang-orang jahat yang seenaknya ikut campur urusannya atau mengomentari setiap tindak tanduknya.
Rasanya, masalah hanya berasal dari Heru saja. Suaminya itu kadang-kadang masih ketahuan berjudi, masih sering main PS hingga lupa waktu, meskipun sudah jauh lebih berkurang.
Respons Sari Sekar Dayu terhadap semua itu sudah jauh lebih tenang. Kalau Heru main PS, dia tidak lagi meneleponnya berkali-kali seperti orang gila. Dia lebih memilih minum obat agar bisa tidur nyenyak.
Wanita itu pun tak pernah mencintai dirinya sendiri seperti ini. Jalan-jalan sendirian, menonton film di bioskop setelah lama tidak. Meski ada rasa bersalah karena meninggalkan Bulan Tsabit sendirian di rumah, tapi, dia menahannya. Seorang ibu harus tetap waras dan bahagia, kan?
Menjelang malam takbiran lebaran kedua di kontrakan baru, Sari Sekar Dayu menggulirkan layar ponselnya, mengetikkan sejumlah angka, mentransfer sejumlah uang untuk keluarga dan teman-temannya.
Setelah itu, rasa mual tiba-tiba melandanya. Buru-buru, wanita itu memuntahkan semua isi perutnya di kamar mandi. Saat menyeka mulutnya dengan air bersih, dia ingat, sudah hampir dua bulan tidak datang bulan. Dirinya tenang-tenang saja, karena itu adalah efek samping penggunaan antidepresan. Namun, kegelisahan mengganggunya ketika gejala-gejala lain mendukung kecurigaannya tentang hamil anak kedua.
#
“Alhamdulillah ya, Bu, lahiran kali ini nggak perlu mampir ke ICU lagi.” Suster bertubuh gemuk membenarkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sari Sekar Dayu takjub sembari semringah, suster itu masih ingat dirinya, padahal sudah hampir enam tahun berlalu. “Soalnya, jarang ada kasus PEB di sini, apalagi, sampai masuk ke ICU. Bisa dibilang, lahiran yang pertama itu mukjizat dari Allah.”