Kring! Kring!
Sebuah tangan berkulit putih terjulur mematikan alarm yang berbunyi tadi.
Ia membuka mata dan menguap lebar sambil meregangkan otot saat sudah di posisi duduk. Seorang cewek dengan rambut panjang itu menggaruk rambut belakangnya dengan malas.
"JUNG ARIA!"
Seketika mata itu membulat. Secepat kilat Aria menuju kamar mandi untuk membasuh diri.
>>><<<
"Pagi, Ma. Pagi, Kak Sara," sapa Aria pada dua insan di meja makan. Yang satu, seorang gadis sedang memasak dan satu lagi adalah wanita paruh baya yang duduk di kursi roda dengan mulut yang miring. Aria mengecup pipi wanita yang terkena stroke itu.
"Ini buburnya, Ma." Sara yang baru saja selesai memasak itu memberi bubur di atas meja lalu kembali membereskan sisa masakan.
"Aria suapin ya, Ma. Buka mulutnya, aaa!" Aria menyodorkan sesuap bubur. Mamanya membuka mulut dengan susah payah lalu Aria menyuapinya. "Mama harus lekas sembuh biar tidak makan bubur melulu. Bubur itu tidak enak, tau."
"Biar Kakak saja. Kamu sarapan setelah itu berangkat sekolah biar tidak telat." Sara mengambil alih.
"Siap, bos!"
Aria beralih menyendok nasi ke piringnya lalu mulai sarapan.
Mama Aria menggerakkan tangan dengan susah payahnya—berbahasa isyarat—dengan arti, 'Bagaimana sekolahmu?'
Aria terdiam sesaat lalu tersenyum pada sang Mama. "Baik seperti biasa. Aria senang banyak yang mau berteman dengan Aria."
'Baguslah. Mama ingin kamu menjadi yang terbaik dan sukses di masa depan.'
Aria tersenyum lagi lalu melanjutkan sarapannya.
Setelah selesai sarapan, ia menyalami Mama dan Kakaknya lalu berangkat sekolah menggunakan sepeda.
Jalanan yang dipenuhi bangunan tinggi menjulang di sepanjangnya sudah tujuh tahun ini Aria lewati setiap pergi dan pulang sekolah. Jalanan yang sepi dan sering kotor akibat dedaunan yang gugur dari pohon ceri di sekelilingnya.
Bukannya terganggu dengan dedaunan itu, Aria justru suka. Di sela keheningan yang ia peroleh selama hidup, Aria menjadi tau bukan hanya dirinya saja yang pernah gugur.
Saat melewati dinding permintaan di mana banyak orang yang menempelkan notes di sana, Aria mengeluarkan stick note miliknya. Menulis sebuah kalimat dan menempelkannya di dinding itu lalu kembali melaju.
Semoga pagi ini terasa menyenangkan. Aku ingin natal nanti, bisa kurayakan bersama Mama dan Kakak dengan bahagia. Dan kami pun hidup bahagia selamanya.
>>><<<
Buk!
Tubuh Aria terhempas membentur loker. Bibir lebamnya ada sedikit bercak darah juga ujung mata yang membiru.
"Makanya jadi cewek jangan kecentilan! Kau pikir aku tidak tau kalau semalam kau jalan dengan Taekyung?! Lupa sama pesanku?!" Gadis di hadapan Aria mencengkram dagu Aria dengan kuat.
Aria yang sebagai korban hanya menjadi bahan tontonan tanpa ada seorang pun yang membantu. Justru mereka bersorak gembira saat seragam SMA Hanggyo yang Aria kenakan ditumpahkan jus jambu merah.
Bukannya bodoh tak mau menghindar, Aria hanya mencari jalan tercepat agar lolos dari serangan Yena yaitu mengikuti saja tindakan kriminal Yena. Toh, Aria sudah sering diperlakukan seperti ini.
"Lain kali patuh terhadapku! Dasar babu!" Yena menendang tulang kering Aria lalu pergi begitu saja.
Sepeninggalnya Yena kerumunan pun menyepi. Aria mengambil buku-bukunya yang terjatuh di lantai lalu memasukkannya ke dalam loker. Sebelum menutup pintu lokernya Aria memperbaiki sedikit rambutnya, mengambil seragam olahraga yang ia tau harus ia sediakan setiap hari, lalu tak lupa Aria menghela napas. Terakhir ia tersenyum. Loker itu pun ia tutup.
>>><<<
Aria berjalan ke kelasnya setelah selesai dari kantin. Begitu masuk ke kelas ia dikejutkan saat seorang guru mengeluarkan semua isi tas Aria. Aria pun mendekati mejanya dengan gerakan cepat.
"A-ada apa, Bu?" tanya Aria. "Kenapa tas saya dibongkar?"
"Karena saya menemukan ini dari tas kamu." Wanita berseragam dinas itu menunjukkan sekotak rokok.
Aria melotot seketika. "I-itu rokok siapa, Bu?"
"Pakai bertanya lagi! Ini jelas-jelas saya temukan dari tas kamu setelah saya dapat berita dari Yena kalau kamu memang merokok."
Aria melirik Yena. Perempuan itu sedang tersenyum picik ke arahnya.
"Bu-bukan, Bu. Itu bukan rokok saya." Aria menggeleng berulang kali. Ia mulai panik. "Saya bersumpah, Bu! Itu bukan rokok saya!"
"Jangan percaya, Bu! Kemarin saya melihat sendiri dia merokok di belakang sekolah." Yena semakin memperpanas keadaan. "Tampangnya saja lugu. Aslinya tidak ada yang tau, kan?"
Yena sialan.
"Ikut saya!" Guru tersebut berjalan meninggalkan kelas.
Aria bungkam. Tak mampu mengelak lagi. Sedikit Aria melirik Yena. Bibir perempuan itu bergerak mengucapkan, 'Mampus.'
Setelah mengikuti guru tersebut, mereka berhenti di pinggir lapangan.
"Sekarang lari sepuluh putaran penuh!" titah guru tersebut.
Aria menganga.