Kita tidak pernah tau, bagaimana takdir ini mempermainkan kita. Kita tidak pernah tau, apa yang terjadi jika kita melakukan ini, apa yang terjadi jika kita melakukan itu. Sama seperti pelangi atau fatamorgana, keindahan itu jarang terjadi. Sekalipun ada, harus ada hujan terlebih dahulu. Yang sama halnya seperti jurang yang harus kau lompati untuk sampai ke pegunungan asri. Ujung-ujungnya terserah padamu. Ingin menyerah atau terus melewatinya.
Tidak ada yang tau bagiamana ruang dan waktu mengubah segalanya. Menjadi suatu kejadian di luar nalar. Tentang keterpurukan yang tiba-tiba saja menjadi kebahagiaan. Tentang kenangan pahit yang mendadak hilang.
Bagai daun kering yang jatuh ke telapak tangan, telapak tangan pun bisa gugur. Tergulai tak berdaya di tengah jalan raya dengan cucuran darah.
Bagai air dingin yang mengalir melalui bibir, bibir pun bisa membeku. Tak bisa menarik ke dua ujungnya lagi membentuk senyuman manis.
Tidak ada yang tau kapan semua itu sudah direncanakan untuk terjadi. Pemilik aura biru kelabu itu terkapar tak berdaya. Yang selanjutnya, tidak tau garis takdir apa yang sudah tercatat di telapak tangannya.
Di mana waktu tetap berlanjut. Musim gugur berganti menjadi musim dingin. Jalanan yang dikelilingi pohon ceri tak lagi dikotori dedaunan kering melainkan bongkahan es. Notes yang menempel di dinding permintaan pun sudah berubah dan bertambah.
Dan selembar stick note milik Aria masih menempel di sana.
>>><<<
Di balik mata yang baru saja terbuka. Samar-samar seorang wanita terlihat.
"Kamu sudah sadar?" Suara wanita itu pun masih sulit untuk didengar. "Dok! Dok! Dia sudah sadar, Dok!"
Semakin lama, pandangan pun semakin menjelas. Pemilik mata itu mulai bisa mengerakkan iris matanya.
Seorang dokter datang bersama wanita tadi dan memeriksa si pasien.
"Bagaimana, Dok?" tanya wanita itu.
"Keadaannya membaik."
"Ah, syukurlah." Wanita itu melirik ke arah pasien. "Keira, bagaimana perasaanmu? Ada yang sakit?"
Pasien yang memiliki alat lengkap rumah sakit di seluruh tubuhnya itu tak menjawab. Bagaimana ia bisa saat lehernya, mulutnya, tangannya, sulit untuk ia gerakkan?
"Keira harus istirahat. Kita bisa melihat perkembangannya sekitar dua jam lagi. Jadi tolong biarkan dia istirahat terlebih dahulu," ujar dokter tersebut.
"Ba-baik, Dok. Kei, Mama keluar ya. Kamu istirahat yang benar supaya lekas sembuh."
Lalu wanita dan dokter itu pun meninggalkan Keira sendirian.
Lima belas menit kemudian, di luar ruangan, suara sepatu yang menderu cepat semakin jelas terdengar. Hingga tepat di depan ruang 401, ia berhenti. Seorang pria dengan earphone melingkar di lehernya menyesuaikan napasnya yang tersengal di hadapan wanita paruh baya yang masuk ke dalam ruangan Keira tadi.
"Apa benar ... Keira sudah sadar, Tante?" tanyanya sekali lagi.
"Iya, Junggie. Keira sudah sadar. Tadi baru saja diperiksa sama dokter. Terus disuruh istirahat selama dua jam. Tunggu sebentar lagi dan kamu bisa lihat Keira sadar setelah dua bulan ini."
"Syukurlah." Laki-laki itu memeluk wanita yang diyakini adalah Mamanya Keira. "Junggie sangat menanti hari ini, Tante."
"Iya, Tante juga."
>>><<<
Sinar jingga dari mentari di senja ini tampak lebih menyengat. Dari celah-celah jendela, sinar itu menerobos masuk untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi di ruang rawat 401.
"Jadi, kalian siapa?"
Wanita dan pria paruh baya, pria dengan earphone, serta wanita lansia yang ada di ruangan tersebut mendadak membeku setelah mendengar pertanyaan dari Keira yang sedang duduk bersandar di ranjangnya.
"Ka-kamu tidak kenal sama Mama, Kei?" Sang Mama menyentuh bahu Keira. "Ini Mama, yang telah melahirkan kamu."
"Mama?" beo Keira. Perempuan dengan rambut panjang ikal itu mengernyitkan dahinya.
Sepuluh menit yang lalu dokter baru saja memeriksa Keira dan memang sudah memberitahu kalau Keira mengalami amnesia. Tapi setelah mendengar secara langsung Keira berbicara, tak disangka akan semenyakitkan ini.
"Keira, ini aku. Kamu juga tidak ingat padaku? Aku Junggie, pacar kamu." Junggie tampak sama paniknya.
"Ini Papa, Nak. Kamu jangan lupa begitu sama Papa." Pria paruh baya itu pun ikut-ikutan. "Dan ini Oma. Oma kamu." Sang Papa menunjuk wanita tua yang tersenyum di balik kerutan alisnya.