2020
Orang-orang berkerumun di sebuah lukisan usang yang mereka bilang mengagumkan. Jiwa artistikku tak bergetar. Bukan karena aku tak menghargai sebuah karya seni. Mungkin hanya aku yang tak berseni.
Aku tak mengerti, di mana indahnya goresan cat berwarna-warni yang ditumpahkan secara acak, abstrak. Membuat mataku berkunang-kunang. Aku lebih tertarik dengan lukisan-lukisan yang tampak nyata dan menampilkan ekspresi orang-orang.
Menikmati ruangan kosong yang tertempel lukisan-lukisan berjejer indah manusia yang hidup di zaman dulu, melegakan pikiran. Inilah seni yang kusuka. Wajah-wajah rupawan serta pria-pria hebat masa lalu tergores di atas kanvas. Guratan timbul membuat wajah-wajah yang tampak hidup. Setiap langkahku seperti sedang ditatap oleh orang-orang dalam lukisan. Entah semuanya adalah manusia yang pernah ada atau hanya imajinasi sang pelukis belaka.
Mataku terpaku oleh salah satu lukisan sepasang manusia. Sungguh pasangan rupawan yang sempurna. Ketika aku meneliti lebih cermat wajah perempuan di samping pria rupawan itu, mendadak bulu kudukku meremang.
Rambut coklat panjang bergelombang menutup sedikit renda di bawah dada. Mata hitam besarnya menatapku. Kami saling bertatapan lama. Aku merasa seperti sedang bercermin!
Benarkah yang kulihat? Atau aku yang sedikit lelah karena tur yang tak kunjung berakhir? Tatapan orang-orang dalam lukisan itu mungkin telah membawa imajinasi ke dalam otakku. Sungguh karya yang hebat!
“Oh, jika saya lihat, wajah kalian benar-benar hampir sama!” Sebuah suara wanita mengejutkanku.
Sontak aku mencari arah datangnya suara itu. Di samping, tampak seorang pemandu yang belum pernah aku jumpai sebelumnya. Senyum dari bibir tipisnya mengembang menyapa. “Selamat siang.”
“Selamat siang! Uh, ya, saya juga sedikit terkejut. Saya seperti sedang bercermin.” Ujarku jujur. “Tapi aku lebih cantik darinya.” Kataku percaya diri sambil terbahak-bahak canggung karena si pemandu tak menanggapi gurauanku.
“Wanita itu adalah Luise. Istri dari Letnan Jendral Johannes Coen. Johannes Coen adalah pahlawan asing di negara ini. Beliau adalah salah satu tokoh yang membebaskan tanam di masa lalu. Walaupun hanya berlangsung beberapa tahun saja sebelum akhirnya wafat.” Terang si pemandu.
Benar, Johannes Coen. Siapa yang tak kenal dirinya? Sosok pria tangguh yang sering kali diceritakan oleh ayahku semasa aku masih remaja. Anehnya, aku tak sekalipun pernah melihat Luise Coen sebelumnya. Tak pula mendengar dirinya telah menikah. Ataukah daya ingatku yang mulai melemah?
“Aku pernah mendengar namanya. Dia sangat tampan. Aku menyukainya. Uh, seandainya aku bertemu dengan pria yang seperti itu.” Aku kelepasan bicara. Si pemandu terkekeh.
“Namun beberapa sumber mengatakan, pria itu gemar bermain wanita.” Bisiknya. “Pada Tahun 1818, Johannes membunuh Luise karena wanita baru yang masuk dalam kehidupannya. Sungguh cerita yang tragis. Sejak itu, Johannes sering sakit-sakitan karena istri barunya memberi obat yang menggerogoti kesehatannya. Hingga akhirnya Johannes ditemukan tak bernyawa di dalam kamarnya. Dan posisi Letnan Jendral diambil alih oleh seorang pria yang menikahi istri kedua Johannes Coen.”