1818
Cahaya lampu gantung berpendar menerangi ukiran bunga di langit-langit putih. Aroma manis merasuk ke lubang hidung. Si perut bergemuruh menanggapi rangsangan otak akan aromanya.
Sudah berapa lama aku berbaring seperti ini? Seandainya aku mengisi perut sebelum ikut wisata dengan orang-orang yang tak kukenal sebelumnya, mungkin aku tak akan berimajinasi hal-hal aneh. “Aku lapar.” Kataku lirih. Baru kali ini aku pingsan karena kelaparan. Ataukah karena cahaya kebiruan itu? Ah, tidak! Itu pasti hanya khayalanku saja.
“Anda baik-baik saja?” Si pemandu membantuku berdiri. Aku pikir dia sudah meninggalkanku sebelumnya.
“Saya baik-baik saja. Terimakasih.”
Tidak, aku tidak baik-baik saja! Pijakanku goyah lalu kembali terjatuh. Si pemandu sigap menangkap lenganku. Dia hampir tak berhasil menopang tubuhku. Setelah menghirup nafas dalam, akhirnya aku berhasil melawan gravitasi. Namun... Tunggu, ada yang aneh! Wanita pemandu itu mengenakan gaun kuno seperti di lukisan-lukisan yang kulihat tadi.
“Sejak kapan kau berganti pakaian?” Aku keheranan.
“Saya selalu mengenakan pakaian ini, Nyonya.” Dia mengerutkan kening, tampak bingung dengan pertanyaanku.
Nyonya? Mengapa dia memanggilku nyonya? Tak ada suara keluar dari mulut. Aku hanya mengikuti langkah kakinya sembari mengamati sekeliling. Benar-benar aneh! Tak ada satupun lukisan di dalam ruangan yang sama seperti sebelum aku tak sadarkan diri.
“Apa yang terjadi? Di mana ini? Di mana orang-orang?”
“Mungkin anda sedang lelah. Saya akan mengantar anda kembali ke kamar.”
Tak hanya si pemandu yang mengenakan gaun kuno, aku pun demikian! Siapa yang lancang telah mengganti pakaianku tanpa izin?! Aku bahkan tak pernah membeli gaun mahal seperti ini!
Tapi... gaun ini cantik sekali. Gaun pendek putih selutut bermotif bunga-bunga merah. Sepertinya seseorang telah menggunting gaun yang kukenakan. Potongannya tak rapi.
Di tengah kebingunganku, bayangan pria tampak dari lorong tanpa cahaya. Langkah kakinya semakin cepat. Suara sol sepatu menginjak lantai menggema di ruangan sampai berhenti di hadapanku.
Sinar matahari menerpa rambut pirangnya hingga tampak berkilau keemasan. Bola mata birunya bergetar saat memandangku. “Apa yang terjadi?” Dia tampak cemas.
Kakiku kembali goyah. Kali ini bukan karena kelaparan melainkan karena pria di hadapanku. Jantungku bergedub kencang. Bukan karena wajah tampannya. Atau lengannya yang kekar mengapit bahuku dengan kuat. Namun karena wajahnya mirip dengan lukisan Johannes!
Apa aku sedang bermimpi? Ataukah masih tak sadarkan diri? Tanpa sadar aku menepuk kedua pipiku kencang. Tidak! Aku sepenuhnya sadar!