“Cina ngamuk! Ayo lari semua, Cina ngamuk!”
Suara pukulan kentongan-kentongan bambu terdengar dari banyak sudut Desa Warnasari. Warga berhamburan keluar dari rumah mereka, membawa barang dan orang yang mereka anggap berharga. Waktu itu tahun 1998, masa di mana krisis finansial Asia mencapai puncaknya. Situasi makin panas setelah tragedi Trisakti di mana empat mahasiswanya ditembak dan terbunuh bulan lalu. Jujur saja, kalau ada lomba siapa yang paling cepat panik, Indonesia di tahun itu mungkin akan jadi juara bertahan.
“Ah, yang benar, Dek?” tanya Ratna sambil terus memegangi tangan putri semata wayangnya. Pemuda yang sedang memegangi kentongan itu mengangguk. Mungkin dia sudah latihan adegan lari-lari sambil mukul kentongan ini dari semalam.
“Lari ke sawah, Bu! Lari ke sawah! Mereka bawa klewang,” ujar pemuda kampung itu, lalu kembali berjalan cepat, memukul kentongannya. Entah kenapa, dia terlihat seperti sedang mengikuti audisi untuk peran “Pembawa Pesan Kiamat Lokal”. Ratna bersama warga lain ikut berlari berhamburan menuju sawah, mungkin berharap sawah bisa jadi safe house dari segala drama dunia.
Sebelumnya, penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa terjadi di sejumlah kota, termasuk Kota Lubuk Pakam, Sumatra Utara. Hal itu bisa terjadi karena Etnis Tionghoa dianggap mendominasi perekonomian. Ya, kalau sudah urusan perut dan dompet, logika sering kali pergi liburan. Lalu, hari ini terdengar pula isu bahwa semua warga Etnis Tionghoa melakukan aksi balas dendam dengan turun membawa senjata tajam ke permukiman warga pribumi.
“Ayah di mana, Ma?”
Ratna menoleh ke arah sumber suara. Pertanyaan itu berasal dari Helentina, gadis remaja lima belas tahun yang kini berdiri di tengah pematang sawah. Helen, putri semata wayangnya, yang sepertinya sudah mulai terbiasa dengan drama keluarga, bahkan drama kampung.
Tidak lama kemudian, terdengar seseorang memanggil-manggil nama putrinya. “Helen!” Ratna tidak perlu menjawab pertanyaan Helen karena jawabannya sendiri kini sudah mendekat. Ini seperti ketika kamu sudah menyiapkan punchline, tapi temanmu sudah lebih dulu mengatakannya.
“Dari mana saja, Bang?” tanya Ratna khawatir.
“Mengamankan gabah kita di gudang.” Melihat mereka berbincang, Helen membuang muka. Dia tidak berminat ikut masuk ke dalam topik. Baginya, obrolan tentang gabah di tengah kerusuhan adalah prioritas nomor sekian setelah uang seratus juta.
“Hey, Acong! Kenapa kau ikut lari ke sini? Bukannya Cina-cina itu saudaramu?” Seorang bapak paruh baya menghampiri mereka. Pria itu mungkin tidak tahu bahwa ada beberapa topik yang sensitif, apalagi di tengah kepanikan massal.
“Panggil aku, Among. Sudah lama aku tidak dipanggil Acong.” Among melirik Ratna. Among dalam bahasa Batak berarti ayah. Mungkin dia sedang berusaha membangun branding baru, dari Acong jadi Among, biar lebih akrab di telinga.
“Terserahmu sajalah! Lalu bagaimana dengan ide ternak lele kita tempo hari di kedai kopi? Berminat?”
“Ide yang mana? Aku tidak paham,” potong Among salah tingkah. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang berpura-pura amnesia mendadak, seperti anggota DPR yang ditanya soal janji kampanye.
“Ternak lele?” Helen kini masuk dan menyela topik pembicaraan mereka. Ternyata, dia tidak se-apatis itu soal lele. Mungkin karena dia melihat peluang bisnis di sana.
“Bah! Harus kali kau tahu?” jawab bapak tersebut menatap Helen. Ekspresinya seperti melihat alien yang tiba-tiba peduli ternak lele.
“Sudahlah-sudah, tidak usah dibahas. Sini biar Ayah yang pegang obornya!” bujuk Among mencoba mengambil obor di tangan Helen, tetapi obor itu dijauhkan dan tidak diberikan. Helen mungkin berpikir, kalau obor ini jatuh ke tangan Ayah, entah jadi apa nanti. Mungkin jadi alat bantu gali lubang investasi bodong.
“Ayah jangan coba-coba melakukan hal yang aneh-aneh lagi, ya, Yah.” Rasa cemas tergambar dari raut wajah Helen. Bukan tidak sayang dengan Among, tetapi ia sudah terlalu sering kecewa sekaligus dirugikan. Banyak kasus yang dilakukan Among sehingga membuat uang hasil jerih payah Helen hilang dengan sia-sia. Kalau ada sertifikat “Anak Paling Sabar Menghadapi Ayah Tukang Tipu”, Helen pasti sudah punya koleksi lengkap.
Sebut saja kasus pembelian tanah bodong dengan iming-iming harga murah dan hanya menggunakan KTP tanpa ada kejelasan surat tanah. Sebagian dari uang tabungan Helen hangus begitu saja dengan kenyataan bahwa tanah tersebut adalah tanah pemerintah. Kasus yang paling baru adalah saat Among tergiur dengan omongan sosok broker investasi yang seolah sangat genius dengan sistem dunia pasar modal.
Broker tersebut memberi iming-iming kekayaan dengan hanya berinvestasi uang selama satu tahun meski dalam jumlah yang sedikit. Percaya dengan hal tersebut, Among diam-diam menjual kambing kesayangan Helen untuk diinvestasikan. Kambing tersebut sudah dirawat Helen sejak kambing itu dilahirkan. Among mengira, ia akan mampu membelikan sepuluh kambing serupa untuk Helen, tetapi sayangnya, lagi-lagi Among kena tipu. Mungkin Among terlalu sering nonton film tentang orang kaya mendadak, tapi lupa kalau dunia nyata itu lebih kejam dari film India.