Dia bisa merasakannya. Dia bisa mendengarkannya. Lantunan ayat suci Al-qur’an yang diperdengarkan sejumlah masjid sebelum azan shubuh tiba. Chiyo sangat menikmati moment tersebut. Dunia menjadi hening seolah mendengarkan sumber suara tilawah.
Pukul lima pagi adalah jam paling akhir untuk selesai mandi. Jadi, sebelum itu, Chiyo pasti sudah bangun. Udara masih bersih dan alam masih dibalut selimut gelap yang menenangkan. Bodoh sekali orang yang masih terlena dengan buaian mimpi, padahal masa depan harus segera dimenangkan.
“Ma, katalog uniframe bulan ini diletak di mana?” tanya Chiyo saat mengeluarkan es tebu dari kulkas dan dimasukkan ke dalam termos ukuran sedang.
“Coba lihat di atas meja kios. Kemarin, ada pasien yang pesan bedak dan lipstik promo bulan ini.” Ratna sendiri masih sibuk menanak nasi di dapur. Ia menyebut customer di salon miliknya dengan istilah pasien.
“Yang promo tujuh puluh persen plus dua puluh persen, ‘kan, Ma?” Chiyo menemukan katalognya, lalu bergegas memasukkannya ke dalam tas sekolah. Hari ini harus ada closing produk kosmetik. Begitulah salah satu afirmasinya di setiap pagi.
“Iya, kayaknya. Coba lihat kertas yang Mama selipkan di katalogmu,” jawab Ratna.
“Duitnya mana? Nanti sudah aku pesankan, ujung-ujungnya gak jadi,” tukas Chiyo memajukan bibir sembari menyiapkan teh ramuan kampung untuk kesehatan Among yang sering sekali merasa sakit di bagian pinggang.
“Ya ampun, pasien Mama yang sering beli es tebu buatanmu itu, Loh. Mana mungkin dia bercanda. Tenang, besok juga sudah dibayar,” jelas Ratna meyakinkan sembari menjerang air di atas kompor.
“Oh, Ibu Gania yang rumahnya di sebelah rumah temanku itu, Ma?” Chiyo dengan cekatan merapikan meja kesayangan Among, lalu meletakkan teko yang berisi ramuan teh berdampingan dengan cangkir, kaca mata dan buku novel cerita silat Wiro Sableng karya Bastian Tito, kesukaan Among.
“Naah, iya betul,” jawab Ratna sekenanya.
Keadaan menjadi hening. Ratna bergegas meninggalkan dapur dan menyusul Chiyo ke musholla. Anak itu pasti sudah salat duluan. Apa salahnya memanggil untuk salat berjamaah. Kalau bukan karena dosa, Ratna pasti sudah menjotos kepala Chiyo saat sedang beribadah.
**
“Ma, nanti kalau ayah sudah pulang dari surau, bilang tidak usah antar bekal siang ke kios percetakan. Rekan kerjaku hari ini berulang tahun. Jadi, aku ditraktir makan.” Chiyo menaikkan termos es tebu ke boncengan sepeda, lalu mendekati Ratna dengan menyodorkan tangan untuk meminta uang.
“Kamu ini, sudah bisa cari uang sendiri, tapi tetap saja minta uang jajan,” keluh Ratna merogoh koceknya.
“Uang jajan dan uang buku Rpal Rpul, ya, Nyonya,” sindir Chiyo dengan masih menadahkan satu tangannya di depan Ratna.
“Sekali-sekali pakai uangmu saja, kenapa, sih.”
“Uangku belum bulat 100 juta, Ma. Nanti kalau sudah sampai segitu, aku juga bakal pergi merantau dan berkelana mengejar dunia tanpa meminta apa-apa lagi dari Ayah dan Mama. Maka, sebelum itu terjadi, do’akan saja dan beri aku uang,” ujar Chiyo memasukkan uang yang diberikan Ratna ke dalam dompetnya, lalu bergegas pergi mengayuh sepeda. Mendengar itu, Ratna kemudian menyeringai dengan sepenuh jiwa. Tubuhnya merinding saat melihat Chiyo menjadi bijaksana untuk menutupi kekikirannya.
**
“Chiyo sudah pergi, Dek?” Among datang membuka pagar. Ratna menyambut suaminya dengan wajah cemberut.