Dia bisa merasakannya. Dia bisa mendengarkannya. Lantunan ayat suci Al-qur’an yang diperdengarkan sejumlah masjid sebelum azan subuh tiba. Helen sangat menikmati momen tersebut. Dunia menjadi hening seolah mendengarkan sumber suara tilawah. Suasana yang jarang dia dapatkan saat Ayah Among sedang tidak punya ide-ide investasi aneh.
Pukul lima pagi adalah jam paling akhir untuk selesai mandi. Jadi, sebelum itu, Helen pasti sudah bangun. Udara masih bersih dan alam masih dibalut selimut gelap yang menenangkan. Menurut Helen, bodoh sekali orang yang masih terlena dengan buaian mimpi. Padahal, baginya masa depan harus segera dimenangkan. Ini seperti lomba lari, kalau kamu bangun siang, kamu sudah kalah start.
“Ma, katalog Uniframe bulan ini diletak di mana?” tanya Helen saat mengeluarkan es tebu dari kulkas dan dimasukkan ke dalam termos ukuran sedang.
“Coba lihat di atas meja kios. Kemarin, ada pasien yang pesan bedak dan lipstik promo bulan ini.” Ratna sendiri masih sibuk menanak nasi di dapur. Ia menyebut customer di salon miliknya dengan istilah pasien. Mungkin karena setiap yang datang ke salonnya pasti akan merasa lebih baik setelah "diobati" olehnya.
“Yang promo tujuh puluh persen plus dua puluh persen, 'kan, Ma?” Helen menemukan katalognya, lalu bergegas memasukkannya ke dalam tas sekolah. Hari ini harus ada closing produk kosmetik. Begitulah salah satu afirmasinya di setiap pagi. Mantra Helen: Go, seratus juta rupiah!
“Iya, kayaknya. Coba lihat kertas yang Mama selipkan di katalogmu,” jawab Ratna.
“Duitnya mana? Nanti sudah aku pesankan, ujung-ujungnya gak jadi,” tukas Helen memajukan bibir. Dia sudah sering menghadapi modus operandi "pesan-tapi-enggak-bayar."
“Ya ampun, pasien Mama yang sering beli es tebu buatanmu itu, Loh. Mana mungkin dia bercanda. Tenang, besok juga sudah dibayar,” jelas Ratna meyakinkan sembari menjerang air di atas kompor. Ratna mencoba meyakinkan, tapi Helen sudah punya kamus sendiri untuk kata "tenang" dan "besok".
“Oh, Ibu Gania yang rumahnya di sebelah rumah temanku itu, Ma?”
“Naah, iya betul,” jawab Ratna sekenanya.
Keadaan menjadi hening. Ratna bergegas meninggalkan dapur dan menyusul Helen ke musala. Anak itu pasti sudah salat duluan. Apa salahnya memanggil untuk salat berjamaah. Kalau bukan karena dosa, Ratna pasti sudah menjotos kepala Helen saat dia salat.
**
“Ma, nanti kalau ayah sudah pulang dari surau, bilang tidak usah antar bekal siang ke kios percetakan. Rekan kerjaku hari ini berulang tahun. Jadi, aku ditraktir makan.” Helen menaikkan termos es tebu ke boncengan sepeda, lalu mendekati Ratna dengan menyodorkan tangan untuk meminta uang.
“Kamu ini, sudah bisa cari uang sendiri, tapi tetap saja minta uang jajan,” keluh Ratna merogoh koceknya. Keluhan rutin seorang ibu menghadapi anak yang independent tapi masih demanding.
“Uang jajan dan uang buku Rpal Rpul, ya, Nyonya,” sindir Helen dengan masih menadahkan satu tangannya di depan Ratna. Dia ini negotiator ulung.
“Sekali-kali pakai uangmu saja, kenapa, sih.”
“Uangku belum bulat 100 juta, Ma. Nanti kalau sudah sampai segitu, aku juga bakal pergi merantau dan berkelana mengejar dunia tanpa meminta apa-apa lagi dari Ayah dan Mama. Maka, sebelum itu terjadi, do’akan saja,” ujar Helen memasukkan uang yang diberikan Ratna ke dalam dompetnya, lalu bergegas pergi mengayuh sepeda. Mendengar itu, Ratna kemudian menyeringai dengan sepenuh jiwa. Tubuhnya merinding saat melihat Helen menjadi bijaksana untuk menutupi kekikirannya. Kekikiran yang didasari ambisi, itu namanya smart financial planning bagi Helen.
**