Helen menundukkan tubuh. Dia memacu sepeda dengan kencang. Angin menerpa wajah dan lehernya. Ada yang salah dengan ban sepeda yang ia kayuh. Stang sepeda itu menjadi tidak stabil. Sebuah batu besar menyambut. Helen berhenti mendadak dan nyaris terjatuh. Rasanya seperti hidupnya yang penuh rintangan tak terduga.
Helen turun dan memeriksa ban sepeda tersebut. Sebuah paku menancap hingga membuatnya kempes. Tidak lama kemudian, sebuah mobil Suzuki Carry Pick Up 1998 berhenti tepat di samping sepeda Helen. Helen mendesah. Dari semua orang, kenapa harus dia?
“Kenapa dengan sepedamu, Helen? Ada masalah?” Gadis yang bertanya itu adalah Maria. Senyumnya lebar, seolah baru saja menemukan harta karun.
“Gak apa-apa, kok. Aman. Lanjutkan saja perjalanan kalian,” elak Helen pura-pura tersenyum. Dia berharap siangnya tidak bertambah runyam. Maria adalah definisi dari situasi awkward yang tidak bisa dihindari.
“Ikut aku saja, Yuk! Nanti sepedamu biar supirku yang angkut ke mobil ini dan membawanya ke bengkel depan kios fotokopimu,” bujuk Maria dengan bersemangat. Tawaran itu ditanggapi Helen sambil lalu. Helen pun meneruskan perjalanannya dengan mendorong sepeda. Di dalam benaknya, Helen memprotes ucapan Maria sebelumnya. Kios fotokopiku? Itu kios fotokopi Bapakmu! Maria selalu punya cara untuk mengingatkannya pada realita pahit.
“Padahal, jika kita pulang bersama, aku bisa membeli salah satu parfum Uniframe di katalogmu.”
“Bang, tolong bantu angkut!” tegas Helen langsung masuk dan duduk di samping Maria di dalam mobil. Singgung saja katalog itu, maka hati Helen langsung bisa disita. Dia ini salesperson sejati, jiwa raganya didedikasikan untuk rupiah.
“Kamu mau parfum yang mana? Bulan ini banyak promo!” Jiwa sales di dalam diri Helen kini merayap keluar. Mode profesional Helen aktif.
“Aku pesan yang ini,” tunjuk Maria ke salah satu item produk parfum.
“Oke, Mar,” jawab Helen dengan langsung mencatat pesanan itu di buku catatannya.
“Oh, ya, Helen..” Belum juga Maria memaparkan tentang hal apa yang akan disampaikannya, hati Helen sudah merasa tidak enak. Jangan bilang kalau Maria ingin menyinggung lagi soal keluarganya. Firasat Helen: radar drama aktif. “Aku masih penasaran, kamu itu bisa bahasa Tionghoa, gak?” sambung Maria. Helen diam saja.
“Hmm..” Helen mendeham untuk memberi isyarat kalau dirinya merasa tidak nyaman. Ini adalah kode halus level dewa.
“Kamu masih kenal, gak dengan keluarga besar Ayahmu?” Yang diberi isyarat tidak juga paham. Pertanyaan selanjutnya mulai bermunculan. Maria ini, sepertinya, tidak punya filter antara otak dan mulutnya.
“Tahu gak, Helen. Pamanku sebelumnya pernah bercerita tentang keluarga Ayahmu. Katanya, Ayahmu itu berasal dari keluarga Tionghoa yang kaya raya, tetapi Nenekmu atau Ibu dari Ayahmu berasal dari pribumi. Naah, saat Ayahmu beranjak dewasa, ia mengulangi kesalahan yang sama dengan menikahi gadis pribumi. Makanya, Ayahmu diusir dari keluarga.” Maria bercerita dengan nada ceria, seolah sedang membaca dongeng. Sementara Helen? Dia merasa seperti sedang mendengarkan rekaman kebencian keluarga di mobil.
“Hmm..” Helen masih mendeham, mencoba memberi pengertian kalau dia benar-benar tidak nyaman. Sayangnya, kepala Maria seperti terbuat dari batu. Dehaman itu sama sekali tidak membantu. Dia terus menyerocos hingga rasa-rasanya Helen ingin melompat dari dalam mobil. Mungkin kalau ada tombol eject, Helen sudah menekannya.