Chiyo menundukkan tubuh. Dia memacu sepeda dengan kencang. Angin menerpa wajah dan lehernya. Ada yang salah dengan ban sepeda yang ia kayuh. Stang sepeda itu menjadi tidak stabil. Sebuah batu besar menyambut. Chiyo berhenti mendadak dan nyaris terjatuh.
Chiyo turun dan memeriksa ban sepeda tersebut. Sebuah paku menancap hingga membuat ban sepedanya kempes. Tidak lama kemudian, sebuah mobil Suzuki Carry Pick Up 1998 berhenti tepat di samping sepeda Chiyo.
“Kenapa dengan sepedamu, Chiyo? Ada masalah?” Gadis yang bertanya itu adalah Maria.
“Gak apa-apa, kok. Aman. Lanjutkan saja perjalanan kalian,” elak Chiyo pura-pura tersenyum. Ia berharap siangnya tidak bertambah runyam.
“Ikut aku saja, Yuk! Nanti sepedamu biar supirku yang angkut ke mobil ini dan membawanya ke bengkel depan kios fotokopimu,” bujuk Maria dengan bersemangat. Tawaran itu ditanggapi Chiyo sambil lalu. Chiyo pun meneruskan perjalanannya dengan mendorong sepeda. Di dalam benaknya, Chiyo memprotes ucapan Maria sebelumnya. ‘Kios fotokopiku? Itu kios fotokopi Bapakmu.’
“Padahal, jika kita pulang bersama, aku bisa membeli salah satu parfum Uniframe di katalogmu.”
“Bang, tolong bantu angkut!” tegas Chiyo, lalu langsung masuk dan duduk di samping Maria di dalam mobil. Singgung saja katalog itu, maka hati Chiyo langsung bisa disita.
“Kamu mau parfum yang mana? Bulan ini banyak promo!” Jiwa sales di dalam diri Chiyo kini merayap keluar.
“Aku pesan yang ini,” tunjuk Maria ke salah satu item produk parfum.
“Oke, Mar,” jawab Chiyo dengan langsung mencatat pesanan itu di buku catatannya.
“Oh, ya, Chiyo,” kata Maria, tetapi belum juga Maria memaparkan tentang hal apa yang akan disampaikannya, hati Chiyo sudah merasa tidak enak. Jangan bilang kalau Maria ingin menyinggung lagi soal keluarganya. “Aku masih penasaran, kamu itu bisa bahasa Tionghoa, gak?” sambung Maria. Chiyo diam saja.
“Hmm…,” Chiyo mendeham untuk memberi isyarat kalau dirinya merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu.
“Kamu masih kenal gak, dengan keluarga besar Ayahmu?” Yang diberi isyarat tidak juga paham. Pertanyaan selanjutnya mulai bermunculan.
“Tahu gak, Chiyo. Pamanku sebelumnya pernah bercerita tentang keluarga ayahmu. Katanya, ayahmu itu berasal dari keluarga Tionghoa yang kaya raya, tetapi nenekmu atau ibu dari ayahmu berasal dari pribumi. Naah, saat ayahmu beranjak dewasa, ia mengulangi kesalahan yang sama dengan menikahi gadis pribumi atau lebih tepatnya dialah mamamu. Oleh karena itu, ayahmu diusir dari keluarga. kesimpulannya, kamu itu juga punya darah yang berasal dari keluarga tajir loh, Chiyo.”
“Hmm…,” balas Chiyo, masih mendeham, mencoba memberi pengertian kalau dia benar-benar tidak nyaman. Sayangnya, kepala Maria seperti terbuat dari batu. Dehaman itu sama sekali tidak membantu. Dia terus menyerocos hinga rasa-rasanya Chiyo ingin melompat dari dalam mobil.